Jung dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswil dan meninggal pada tanggal 6 Juni 1961 di Kusnach, Swiss. Ia lulus dari Fakultas kedokteran Universitas Basle pada tahun 1900. Pada tahun 1923 ia berhenti menjadi dosen untuk mengkhususkan dirinya dalam riset-riset. Sejak 1906 ia mulai tulis menulis surat kepada Sigmund Freud yang baru dijumpainya pertama kali setahun kemudian yakni tahun 1907. Pertemuan yang terjadi di Wina tersebut sangat mengesankan kedua belah pihak, sehingga terjadi tali persahabatan antara mereka. Freud begitu menaruh kepercayaan kepada Jung, sehingga Jung dianggap sebagai orang yang patut menggantikan Freud di kemudian hari (Sarlito Wirawan Sarwono, 1978: 186-187).
Carl Gustav Jung adalah murid Sigmund Freud. Freud adalah adalah penggagas psikoanalisa yang merupakan seorang Jerman keturunan Yahudi. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1865 di Freiberg, dan pada masa bangkitnya Hitler ia harus melarikan diri ke Inggris dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939 (Sarlito Wirawan Sarwono, 1978: 175).
Meskipun mengambil beberapa pendapat gurunya, ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Freud, terutama karena gurunya tersebut terlalu menekankan pada seksualitas dan berorientasi terhadap materialistis dan biologis di dalam menjelaskan teoriteorinya
Doktrin Jung
Doktrin Jung yang dikenal dengan psikologi analitis (analytical psychology), sangat dipengaruhi oleh mitos, mistisisme, metafisika, dan pengalaman religius (Yadi Purwanto, 2003: 121). Ia percaya bahwa hal ini dapat memberikan keterangan yang memuaskan atas sifat spiritual manusia, sedangkan teori-teori Freud hanya berkecimpung dengan hal-hal yang sifatnya keduniaan semata. (Carl Gustav Jung,1989: 10.)
Jung mendefinisikan kembali istilah-istilah psikologi yang dipakai pada saat itu, khususnya yang dipakai oleh Freud. Ego, menurut Jung, merupakan suatu kompleks yang terletak di tengah-tengah kesadaran, yakni keakuan.
Istilah Freud lainnya yang didefinisikannya kembali adalah libido. Bagi Jung, libido bukan hanya menandakan energi seksual, tetapi semua proses kehidupan yang penuh energi: dari aktivitas seksual sampai penyembuhan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 92).
Id, ego, dan superego, adalah istilah istilah yang tak pernah dipakai oleh Jung. Sebagai gantinya, ia menggunakan istilah conciousness (kesadaran), personal unconciousness (ketidaksadaran pribadi), dan collective unconciousness (ketidaksadaran kolektif) Conciousness dan personal unconciousness sebagian dapat diperbandingkan dengan id dan ego, tetapi terdapat perbedaan yang sangat berarti antara superego-nya Freud dengan collective unconciousness, karena Jung percaya bahwa yang terakhir ini adalah wilayah kekuatan jiwa (psyche) yang paling luas dan dalam, yang mengatur akar dari empat fungsi psikologis, yaitu sensasi, intuisi, pikiran, dan perasaan. Selain itu, juga mengandung warisan memori-memori rasial, leluhur dan historis.
Untuk dapat mengerti aspek-aspek metafisik dalam teori mimpi Jung, menurut penulis kita harus menelusuri dan memahami berbagai terma yang biasa dipakai oleh Jung di dalam menguraikan teori mimpinya.
Archetype dan Autonomous Complex
Dalam psikologi Jung, ketidaksadaran kolektif dapat terdiri atas komponen komponen dasar kekuatan jiwa yang oleh Jung disebut sebagai archetype. Archetype merupakan konsep universal yang mengandung elemen mitos yang luas. Konsep archetype ini sangat penting dalam memahami simbol mimpi karena ia menjelaskan kenapa ada mimpi yang memiliki makna universal, sehingga bisa berlaku bagi semua orang. Dan ada pula mimpi yang sifatnya pribadi dan hanya berlaku untuk orang yang bermimpi saja. Jung memandang archetype ini sebagai suatu autonomous complex, yaitu suatu bagian dari kekuatan jiwa yang melepaskan diri dan bebas dari kepribadian. Kohnsamm dan
B.G Palland, 1984: 92)
Bagi Jung pandangan Freud terlalu menjagokan pandangan seksualitas dan orientasi yang mekanistis- biologis. Jung mengajak psikolog untuk meyakini asumsi dasar yang berbeda, ia menyatakan bahwa manusia selalu terkait erat dengan mitos, hal mistis, metafisis, dan pengalaman religius.
Jung melihat manusia sebagai makhluk biologis yang jiwanya berkait erat dengan pola-pola primordial. Manusia memang memiliki aspek kesadaran dan ketidaksadaran bahkan kumpulan kolektif ketidaksadaran yang berbeda dengan dorongan Id menurut Freud. Dengan adanya ketidaksadaran kolektif, manusia memiliki sifat universal dalam hal sensasi, suara qalbu, pikiran dan perasaan.
Argumentasi yang diajukan adalah bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama, ras keturunan dari satu induk dan dengan demikian memiliki akar historis yang relatif sama. Evolusi manusia tidak sepenuhnya menghilangkan dasar memori yang terwariskan dari nenek moyang. Jung menyatakan hal tersebut sebagai arketif-arketif (archetypes) yang menjadi dasar dari jiwamanusia.
Persona
Personal autonomous complex atau archetype dipandang oleh Jung sebagai bagian dari dari kekuatan jiwa. Ia menyebutnya sebagai persona, bayang-bayang, anima, dan animus (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 87-88). Hal-hal inilah yang muncul dalam mimpi, dalam bentuk figur-figur yang dikenal atau tidak dikenal oleh orang yang bermimpi.
Persona adalah wajah yang ditampilkan oleh individu. Persona merupakan kepribadian yang sadar, yang dapat diidentikkan dengan ego-nya Freud. Dalam mimpi, ia muncul dalam bentuk sesosok figur yang melambangkan aku dalam suasana tertentu. Kadang-kadang, dapat berupa seorang tua yang keras, wanita bijak, orang gagah, badut, atau anak kecil. Inilah perilaku dari dari pikiran penghasil mimpi kita. Kadang kala, dalam mimpi, hal ini akan diimbangi dengan sebuah karakter yang memainkan peran yang berlawanan. Contohnya, seseorang yang dalam keadaan sadar sebagai sosok yang bermoral, ketika di dalam mimpi bisa jadi berupa seorang bajingan atau sebaliknya.
Bayang-bayang
Sisi kuat dari kepribadian seorang individu biasanya mendominasi seluruh persona. Aspek-aspek yang lebih lemah dominasinya hanya menjadi bayangbayang diri. Jung mengistilahkannya dengan autonomous complex atau archetype yang lain, yang muncul ke permukaan di dalam mimpi. Kadang- kadang, naluri dan desakan diwujudkan dalam bentuk bayang-bayang, bersama perasaan perasaan negatif dan destruktif. Ia dapat berupa satu sosok yang mengancam, yang menyamar sebagai seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang yang bermimpi.
Satu cara untuk mengenali bayang-bayang figur di dalam sebuah mimpi adalah dengan mengamati reaksi dan perasaan kita yang paling negatif terhadap seseorang atau suasana tertentu, karena hal yang paling tidak kita sukailah yang membentuk inti dari bayangan tersebut.
Anima dan Animus
Anima dan animus adalah istilah yang dibuat oleh Jung untuk menggambarkan karakteristik dari seks yang berlawanan, yang ada dalam setiap diri laki-laki dan perempuan. Anima adalah sifat kewanitaan yang tersembunyi di dalam diri laki-laki, sedangkan animus adalah sifat kelaki-lakian yang tersembunyi dalam diri perempuan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94-96).
Anima adalah pusat kasih sayang, emosi, naluri, dan intuisi dari sisi kepribadian laki-laki. Archetype ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh perempuan yang dikenali oleh seorang laki-laki dalam hidupnya, khususnya ibunya sendiri. Bergabungnya sifat tersebut ke dalam kepribadiannya memungkinkan seorang laki-laki untuk mengembangkan sisi sensitif dari tabiatnya, sehingga memungkinkannya untuk menjadi individu yang tidak terlalu agresif, baik hati, hangat dan penuh pengertian. Memungkiri atau menekan anima
mengakibatkan timbulnya sifat keras kepala, keras, kaku, dan bahkan kejam secara fisik maupun emosi.
Animus adalah sisi praktis, independen, percaya diri, dan keberanian mengambil resiko dari kepribadian wanita. Sebagai sebuah archetype, hal ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh laki-laki yang dikenal oleh seorang wanita di dalam hidupnya, terutama ayahnya sendiri. Bergabungnya sifat ini ke dalam memungkinkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin, pengelola yang baik, dan pencari nafkah. Namun, jika seorang wanita mengabaikan aspek-aspek ini dalam dirinya, maka ia menjadi cengeng, tergantung, cerewet, dan tidak aman.
Dengan adanya kesepakatan terhadap archetype ini, memungkinkan lakilaki dan wanita dapat memahami dengan lebih baik terhadap lawan jenisnya. Hal ini juga akan memberdayakan mereka untuk memperluas dan mengembangkan kemampuan mereka secara maksimal. Munculnya anima atau animus dalam mimpi seseorang menunjukkan integrasi kepribadian. Oleh Jung, integrasi ini disebut sebagai proses individuasi (Carl Gustav Jung, 1989: 16-17)
Diri yang "Ideal"
Diri, sebagai sebuah archetype mewakili tabiat ideal dan spiritual dari lakilaki dan wanita. Ketika diri muncul di dalam mimpi, biasanya menunjukkan bahwa proses individuasi telah selesai. Dalam mimpi seorang laki-laki, diri muncul sebagai laki-laki tua yang bijak. Dalam mimpi seorang wanita, figur ini berwujud ibu yang agung. Masing-masing dari figur ini memiliki empat aspek yang mewakili empat sifat dari kekuatan jiwa, yakni kecerdasan, emosi, kepraktisan, dan intuisi. Namun sifat-sifat ini juga memiliki aspek positif dan negatifnya (Carl Gustav Jung, 1989: 10).
Keempat aspek ganda dari kewanitaan dan kelelakian tersebut membentuk karakteristik archetype dasar dari seorang individu. Jarang sebuah aspek mendominasi sepenuhnya, namun bila hal itu sampai terjadi, maka dikenali sebagai eksentrisitas. Keseimbangan di antara keempat sifat yang posiif tadi perlu diusahakan, ditambah dengan pengenalan terhadap empat karakteristik yang berlawanan, yang dapat muncul dalam keadaan tertentu
Figur-figur archetype simbolis
Figur-figur yang muncul didalam mimpi mewakili sifat-sifat yang tersembunyi di dalam diri kita. Ini dapat disimbolkan dengan benda atau tokoh. Misalnya, laba-laba betina yang suka menyantap pejantannya ( jenis Black Widow ), menggambarkan aspek negatif dari ibu atau istri. Dongeng tentang pangeran dan puteri yang hidup berbahagia sampai akhir masa, Cinderella, dan Putri Salju, adalah gambaran sifat-sifat romantis. Ketika kita sedang mencari pasangan lain jenis, citra-citra inilah yang menyamar di alam tidur kita, seperti kata ungkapan " pria dan wanita impian" (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94 - 96).
Bagi Jung mimpi adalah upaya memanipulasi reaksi terhadap lingkungan dengan persona sebagai pemeran subyek dalam mimpi. Persona dalam mimpi dapat berwujud berbagai bentuk: figur ibu, laki- laki, perempuan ataupun seribu wajah. Persona memang dapat bersandiwara memerankan arketif, berupa bayangbayang (the shadow). Mimpi adalah gambaran adanya arketif-araketif purbakala, seolah-olah mimpi merupakan arena menemukan kembali jati diri kuno sebelum berevolusi. Jika kita mengikuti pendapat Jung, maka boleh jadi seorang bayi yang tidur sambil tersenyum, menggambarkan ia sedang bermimpi hidup di surga, suatu alam sebelum ia lahir ke bumi, karena bagi Jung mimpi indah adalah bayang-bayang pengalaman surgawi.
Terdapat pula bayang-bayang yang terbentuk dari insting hewani yang terproyeksikan dalam simbol-simbol tertentu. Sebagai misal: perasaan bersalah (dosa) diproyeksikan dalam bentuk mimpi tentang kejahatan atau musuh. Salah satu cara untuk mengenali figur yang digambarkan oleh bayangan dalam mimpi, kita perlu memeriksa reaksi yang paling negatif atau positif perasaan kita pada orang dan lingkungan di sekitar kita, baik figur ayah maupun ibu.
Pemilihan simbol-simbol mimpi dapat berasal dari lingkungan internal dan eksternal. Simbol yang diperoleh dari luar merupakan simbol yang berhasil direkam oleh individu, simbol-simbol ini mudah untuk dimaknai karena terjadi dalam tataran kesadaran. Berbeda dengan simbol-simbol yang diperoleh dari internal, yakni kumpulan kolektif-ketidaksadaran, akan melahirkan mimpi yang mistis, aneh, dan karena tidak biasa menganggapnya sebagai omong kosong.
Kenyataannya, di dalam mimpi kita melakukan komunikasi dengan diri kita sendiri. Bahasa yang kita pergunakan tidaklah harus simbolik, melainkan imajinatif yang sangat kuno yang hanya dimengerti dengan bahasa sensasi, pikiran, emosi, dan memori kejiwaan arketif. Simbol-simbol arketif ini relatif sama bagi semua manusia, karena kita mengalami masalah kehidupan yang sama, kecemasan, kesulitan, ambisi, keinginan, frustasi, insting, dan dorongan yang kesemuanya diwakili oleh bahasa imajinasi yang sama.
PENUTUP
Pada hakikatnya, mimpi adalah deretan dari gambaran mental yang saling bertalian dan berlangsung selama orang tidur. Freud dan para pengikutnya memahami mimpi hanya sebagai akibat dari pengaruh mekanisme fisik dan cermin dari gejala psikologis (kejiwaan) yang dialami seseorang semata.
Jung tidak menerima pendapat Freud yang terlalu menekankan aspek material manusia ini. Bagi Jung, kepribadian adalah paduan kompromi dari inner-life dengan dunia luar. Dengan demikian bagi Jung mimpi merupakan bukti adanya dimensi innate religious, atau kesadaran beragama yang bersifat bawaan, sebab mimpi-mimpi yang digambarkan oleh menusia purba hingga modern sekarang ini tetap menggambarkan paradigma pskologis tentang hubungan manusia dengan alam spiritual. Melalui analisa mimpi dari berbagai praktek psikologinya, ia menyimpulkan bahwa adanya kekuatan-kekuatan terpendam yang bersifat religius yang memanifestasi berupa bentuk-bentuk memuliakan, mensakralkan sesuatu di dalam kehidupan manusia (Carl Gustav Jung, 1989: 89)
DAFTAR PUSTAKA
Carl Gustav Jung, 1989, Memperkenalkan Psikologi Analitik, terj. Agus Cremers, Gramedia, Jakarta
Kohnsamm dan B.G Palland, 1984, Sejarah Ilmu Jiwa, CV Jemmers, Bandung
Mahmoud Ayoub, 1997, dalam Muhammad al-Akili, Ensiklopedia Ta'wil Mimpi Islam Ibn Sirin, terj.
Eva.Y. Nukman, Pustaka Hidayah, Bandung
Nerys Dee, 2001, Memahami Mimpi, terj. Syafruddin Hasani, Pustaka Populer LkiS, Yogyakarta
Sarlito Wirawan Sarwono, 1978, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan tokoh- Tokoh Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta
Sigmund Freud, 2002, Psikoanalisis, terjemahan Ikon Titalitera, Yogyakarta
Yadi Purwanto, 2003, Memahami Mimpi, Menara Kudus, Yogjakarta
Rabu, 30 November 2011
Jumat, 11 November 2011
Pengertian dan Karakteristik Bermain
Pengertian tentang bermain bisa disebabkan beberapa hal, oleh karena:
1. Istilah bermain digunakan dalam berbagai cara dan konteks kehidupan sehari-hari;
2. Studi-studi tentang bermain dilakukan dalam berbagai disiplin;
3. Kriteria untuk menentukan kegiatan bermain tidak selamanya dapat diamati.
Dalam hal ini terdapat tujuh ciri yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah sesuatu itu bermain atau bukan, yakni yang:
Pertama, bermain dilakukan secara voluntir. Bermain yang dilakukan secara sula rela tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain.
Kedua, bermain itu spontan. Bermain kapan pun mereka mau.
Ketiga, kegiatan lebih bermain lebih berorientasi pada proses dari pada terhadap hasil atau akhir kegiatan. Fokus dalam bermain adalah melakukan aktivitas bermain itu sendiri, bukan hasil atau akhir dari kegiatannya
Keempat, bermain didorong oleh motivasi intrinsik. Maksudnya, yang mendorong anak untuk melakukan kegiatan bermain tersebut adalah kegiatannya itu sendiri, bukan faktor-faktor luar yang bersifat ekstrinsik. Misalnya didorong orang tua, untuk mendapatkan hadiah,dll.
Kelima, bermain itu pada dasarnya menyenangkan. Bermain bisa memberikan perasaan-perasaan positif bagi para pelakunya. Artinya semakin aktivitas itu menyenangkan, maka hal tersebut semakin merupakan bermain.
Keenam, bermain itu bersifat aktif. Bermain memerlukan keterlibatan aktif dari para pelakunya.
Ketujuh, bermain fleksibel. Dengan ciri ini berarti anak yang bermain memiliki kebebasan untuk memilih jenis kegiatan yang ingin dilakukannya.
Dengan tujuh karakteristik di atas, secara sederhana bermain dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara voluntir, spontan, terfokus pada proses, didorong oleh motivasi intrinsik, menyenangkan, aktif dan fleksibel.
1. Istilah bermain digunakan dalam berbagai cara dan konteks kehidupan sehari-hari;
2. Studi-studi tentang bermain dilakukan dalam berbagai disiplin;
3. Kriteria untuk menentukan kegiatan bermain tidak selamanya dapat diamati.
Dalam hal ini terdapat tujuh ciri yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah sesuatu itu bermain atau bukan, yakni yang:
Pertama, bermain dilakukan secara voluntir. Bermain yang dilakukan secara sula rela tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain.
Kedua, bermain itu spontan. Bermain kapan pun mereka mau.
Ketiga, kegiatan lebih bermain lebih berorientasi pada proses dari pada terhadap hasil atau akhir kegiatan. Fokus dalam bermain adalah melakukan aktivitas bermain itu sendiri, bukan hasil atau akhir dari kegiatannya
Keempat, bermain didorong oleh motivasi intrinsik. Maksudnya, yang mendorong anak untuk melakukan kegiatan bermain tersebut adalah kegiatannya itu sendiri, bukan faktor-faktor luar yang bersifat ekstrinsik. Misalnya didorong orang tua, untuk mendapatkan hadiah,dll.
Kelima, bermain itu pada dasarnya menyenangkan. Bermain bisa memberikan perasaan-perasaan positif bagi para pelakunya. Artinya semakin aktivitas itu menyenangkan, maka hal tersebut semakin merupakan bermain.
Keenam, bermain itu bersifat aktif. Bermain memerlukan keterlibatan aktif dari para pelakunya.
Ketujuh, bermain fleksibel. Dengan ciri ini berarti anak yang bermain memiliki kebebasan untuk memilih jenis kegiatan yang ingin dilakukannya.
Dengan tujuh karakteristik di atas, secara sederhana bermain dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara voluntir, spontan, terfokus pada proses, didorong oleh motivasi intrinsik, menyenangkan, aktif dan fleksibel.
Pengertian Motorik
Motorik adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan-gerakan tubuh.
Apakah motorik itu?
Bagaimana cara bekerjanya?
Yang dimaksud dengan motorik ialah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan-gerakan tubuh.
Dalam perkembangan motorik, unsur-unsur yang menentukan ialah
1. Otot,
2. Saraf, dan
3. Otak.
Ketiga unsur itu melaksanakan masing-masing peranannya secara “interaksi positif”, artinya unsur-unsur yang satu saling berkaitan, saling menunjang, saling melengkapi dengan unsur yang lainnya untuk mencapai kondisi motoris yang lebih sempurna keadaannya. Selain mengandalkan kekuatan otot, rupanya kesempurnaan otak juga turut menentukan keadaan. Anak yang pertumbuhan otaknya mengalami gangguan tampak kurang terampil menggerak-gerakan tubuhnya.
Apakah motorik itu?
Bagaimana cara bekerjanya?
Yang dimaksud dengan motorik ialah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan-gerakan tubuh.
Dalam perkembangan motorik, unsur-unsur yang menentukan ialah
1. Otot,
2. Saraf, dan
3. Otak.
Ketiga unsur itu melaksanakan masing-masing peranannya secara “interaksi positif”, artinya unsur-unsur yang satu saling berkaitan, saling menunjang, saling melengkapi dengan unsur yang lainnya untuk mencapai kondisi motoris yang lebih sempurna keadaannya. Selain mengandalkan kekuatan otot, rupanya kesempurnaan otak juga turut menentukan keadaan. Anak yang pertumbuhan otaknya mengalami gangguan tampak kurang terampil menggerak-gerakan tubuhnya.
Kamis, 10 November 2011
Tips Menangani anak Agresif
Untuk membahas permasalahan perilaku agresif yang telah dibahas dipostingan sebelumnya, penulis menggunakan Teori Pembentukan Tingkah laku sebagaimana disampaikan oleh Eniarti, Budi Pratiti, Cecep Sugeng K Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mereka menyebutkan bahwa perilaku anak dapat dibentuk melalui pengalaman maupun pengamatan. Teori ini mengemukakan tiga proposisi tentang pembentukan perilaku yaitu: (1) Perilaku diperkuat oleh reinforcement, (2) Perilaku yang mendapat reinforcement secara konsisten akan lebih kuat terbentuk, (3) perilaku baru dapat dipelajari melalui modeling. Perilaku terjadi sebagai hasil dari saling peran antara faktor kognitif dan lingkungan, suatu konsep yang dikenal sebagai mekanisme timbal balik (reciprocal determinism).
Orang belajar dengan mengobservasi orang lain, baik secara disengaja maupun tidak disengaja yang dikenal sebagai modelling atau belajar melalui peniruan. Jika model yang dipilih mencerminkan norma dan nilai-nilai yang sehat, seseorang mengembangkan kemanjuran diri (self efficacy), yaitu kemampuan untuk mengadaptasi kehidupan setiap hari yang normal dan situasi yang mengancam.
Ada beberapa Tips dalam Menangani anak yang berperilaku agresif sebagai berikut:
A. Memberi Hukuman yang Efektif Kepada Anak
Pertama, Memberi pelajaran kepada anak agar dapat berperilaku baik tidak perlu dengan cara kekerasan, dengan pukulan. Memukul adalah bukan cara yang baik untuk menghentikan perilaku buruk anak. Justru boleh jadi hanya akan membuat anak merasa bingung, kecewa dan terluka bathinnya. Ia tidak akan percaya bahwa orang yang selama ini dianggap sebagai tempatnya berlindung dan mendapatkan kasih sayang ternyata berbuat kasar terhadapnya.
Kedua, Pukulan yang dilakukan orangtua dapat menghentikan perilaku buruk anak. Tetapi boleh jadi hanya untuk sementara, pada saat itu saja. Anak akan taat kepada orangtua karena perasaan takut dipukul, bukan karena ia memahami permasalahan yang sebenarnya terjadi. Sedangkan untuk jangka panjang mungkin saja anak akan mengulangi lagi perbuatan buruknya, bahhkan boleh jadi lebih buruk dari sebelumnya. Ia akan melakukan pembalasan terhadap orangtuanya dengan cara melakukan tindakan yang dapat membuat orang tua merasa pusing, jengkel, malu dan terganggu aktivitasnya.
Ketiga, Ada banyak alternatif hukuman fisik yang lebih efektif daripada pukulan. Di antaranya, memperingatkan dengan kata-kata, menyingkirkan mainan kesukaannya, membatasi penggunaan televisi, komputer, sepeda, atau aktivitas menarik lainnya. Selain itu, bawa dia ke tempat ‘menenangkan diri’ yang berbeda dari kamar tidurnya; bisa di pojok ruangan, kursi khusus, atau dengan cara menidurkannya lebih awal (Deborah K. Parker M.Ed, 2005).
B. Menghadapi Anak Yang Suka Agresif Mengamuk Di Depan Umum
Kita pastinya tidak ingin bermasalah dengan orang lain di tempat umum hanya gara-gara anak kita. Ada beberapa cara untuk menghadapi anak yang suka agresif di depan umum.
1. Perlu adanya pengertian dan kesabaran orangtua.
2. Tidak perlu dengan cara kekerasan fisik. Tenangkanlah anak dengan pelukan. Tanyakan kepadanya apa yang ia inginkan dan pastikan kepadanya bahwa orangtua akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Apabila orangtua memiliki acara untuk pergi ke luar rumah sebelum berangkat orangtua membuat perjanjian dulu dengannya. Hal ini perlu dilakukan supaya anak mengerti dan dapat menjaga sikap ketika ia sedang berada di depan umum. Bicarakanlah konsekuensinya apabila anak melanggar janji. Namun, jika anak mampu menjaga sikapnya dengan baik di depan umum maka tidak ada salahnya orangtua memberikan pujian, pelukan, ciuman, atau mungkin memberikan hadiah kecil yang ia sukai .
4. Jika agresifitas itu ke hal yang positif, cara mengatasinya, biarkan saja si anak melakukan apa yang di inginkannya tapi perlu pengarahan, pengawasan dan jangan terlalu banyak melarang kemauannya yang positif, takutnya justru “membunuh” kreatifitas dan daya imajinasinya karena anak seusia ini lagi dalam proses penjajakan lingkungan, penyesuain diri, mungkin bisa di bilang masa “puber” anak balita”, yang bisa kita lakukan hanya meminimalkan efeknya.
5. Bertingkah agresif yang mengarah ke kreativitas anak boleh saja (tidak terhitung barang – barang di rumah yang rusak oleh anak-anak), tapi memukul, menyakiti orang lain dan bersikap tidak sopan adalah lain soal. Juga, kalau merusaknya karena mereka curious, karena rasa keingintahuannya tidak masalah. Misalnya karena anak ingin mengetahui apa jadinya kalau es lilin dimasukkan ke dalam gelas yang berisi teh? Tapi kalau sengaja membanting gelas karena marah atau karena kemauannya tidak dituruti, itu berarti ada masalah besar dengan si anak.
6. Larangan bermain bersama. Anak yang sudah terlihat gejala agresif mereka kita kelompokkan tersendiri.
7. Untuk memperbaiki perilaku agresif bukannya dicampur dengan anak yang kalem, apalagi kalau anak kalem itu lebih introvert, dengan harapan yang agresif akan jadi kalem. Barangkali tidak begitu, justru akan menyebAnak berkebutuhan khususan rasa tidak aman bagi perkembangannya.
Mengacu pada tindakan-tindakan di atas, penanganan anak dengan perilaku agresif harus diperhatikan juga penanganan atas anak yang menjadi korban perilaku tersebut. Tidak jarang, ada sekelompok anak yang selalu menjadi korban dari para jagoan, karena ketidakmampuannya untuk mempertahankan atau membela diri dari perilaku agresif teman yang lain.
Penanganan terhadap anak yang berperilaku agresif harus dilaksanakan secara menyeluruh, artinya semua pihak harus terlibat, termasuk orang tua, guru dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan uraian pembahasan cara penanganan terhadap anak berperilaku agresif di atas dapat disimpulkan bahwa penanganan terhadap anak yang berperilaku agresif harus dilaksanakan secara menyeluruh, artinya semua pihak harus terlibat, termasuk orang tua, guru dan lingkungan sekitarnya. Beberapa alternatfi penanganan terhadap anak berperilaku aresif dengan memberi hukuman yang efektif kepada anak dan perlu adanya pengertian dan kesabaran orangtua.
http://belajarpsikologi.com/tips-menangani-anak-agresif/
Mereka menyebutkan bahwa perilaku anak dapat dibentuk melalui pengalaman maupun pengamatan. Teori ini mengemukakan tiga proposisi tentang pembentukan perilaku yaitu: (1) Perilaku diperkuat oleh reinforcement, (2) Perilaku yang mendapat reinforcement secara konsisten akan lebih kuat terbentuk, (3) perilaku baru dapat dipelajari melalui modeling. Perilaku terjadi sebagai hasil dari saling peran antara faktor kognitif dan lingkungan, suatu konsep yang dikenal sebagai mekanisme timbal balik (reciprocal determinism).
Orang belajar dengan mengobservasi orang lain, baik secara disengaja maupun tidak disengaja yang dikenal sebagai modelling atau belajar melalui peniruan. Jika model yang dipilih mencerminkan norma dan nilai-nilai yang sehat, seseorang mengembangkan kemanjuran diri (self efficacy), yaitu kemampuan untuk mengadaptasi kehidupan setiap hari yang normal dan situasi yang mengancam.
Ada beberapa Tips dalam Menangani anak yang berperilaku agresif sebagai berikut:
A. Memberi Hukuman yang Efektif Kepada Anak
Pertama, Memberi pelajaran kepada anak agar dapat berperilaku baik tidak perlu dengan cara kekerasan, dengan pukulan. Memukul adalah bukan cara yang baik untuk menghentikan perilaku buruk anak. Justru boleh jadi hanya akan membuat anak merasa bingung, kecewa dan terluka bathinnya. Ia tidak akan percaya bahwa orang yang selama ini dianggap sebagai tempatnya berlindung dan mendapatkan kasih sayang ternyata berbuat kasar terhadapnya.
Kedua, Pukulan yang dilakukan orangtua dapat menghentikan perilaku buruk anak. Tetapi boleh jadi hanya untuk sementara, pada saat itu saja. Anak akan taat kepada orangtua karena perasaan takut dipukul, bukan karena ia memahami permasalahan yang sebenarnya terjadi. Sedangkan untuk jangka panjang mungkin saja anak akan mengulangi lagi perbuatan buruknya, bahhkan boleh jadi lebih buruk dari sebelumnya. Ia akan melakukan pembalasan terhadap orangtuanya dengan cara melakukan tindakan yang dapat membuat orang tua merasa pusing, jengkel, malu dan terganggu aktivitasnya.
Ketiga, Ada banyak alternatif hukuman fisik yang lebih efektif daripada pukulan. Di antaranya, memperingatkan dengan kata-kata, menyingkirkan mainan kesukaannya, membatasi penggunaan televisi, komputer, sepeda, atau aktivitas menarik lainnya. Selain itu, bawa dia ke tempat ‘menenangkan diri’ yang berbeda dari kamar tidurnya; bisa di pojok ruangan, kursi khusus, atau dengan cara menidurkannya lebih awal (Deborah K. Parker M.Ed, 2005).
B. Menghadapi Anak Yang Suka Agresif Mengamuk Di Depan Umum
Kita pastinya tidak ingin bermasalah dengan orang lain di tempat umum hanya gara-gara anak kita. Ada beberapa cara untuk menghadapi anak yang suka agresif di depan umum.
1. Perlu adanya pengertian dan kesabaran orangtua.
2. Tidak perlu dengan cara kekerasan fisik. Tenangkanlah anak dengan pelukan. Tanyakan kepadanya apa yang ia inginkan dan pastikan kepadanya bahwa orangtua akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Apabila orangtua memiliki acara untuk pergi ke luar rumah sebelum berangkat orangtua membuat perjanjian dulu dengannya. Hal ini perlu dilakukan supaya anak mengerti dan dapat menjaga sikap ketika ia sedang berada di depan umum. Bicarakanlah konsekuensinya apabila anak melanggar janji. Namun, jika anak mampu menjaga sikapnya dengan baik di depan umum maka tidak ada salahnya orangtua memberikan pujian, pelukan, ciuman, atau mungkin memberikan hadiah kecil yang ia sukai .
4. Jika agresifitas itu ke hal yang positif, cara mengatasinya, biarkan saja si anak melakukan apa yang di inginkannya tapi perlu pengarahan, pengawasan dan jangan terlalu banyak melarang kemauannya yang positif, takutnya justru “membunuh” kreatifitas dan daya imajinasinya karena anak seusia ini lagi dalam proses penjajakan lingkungan, penyesuain diri, mungkin bisa di bilang masa “puber” anak balita”, yang bisa kita lakukan hanya meminimalkan efeknya.
5. Bertingkah agresif yang mengarah ke kreativitas anak boleh saja (tidak terhitung barang – barang di rumah yang rusak oleh anak-anak), tapi memukul, menyakiti orang lain dan bersikap tidak sopan adalah lain soal. Juga, kalau merusaknya karena mereka curious, karena rasa keingintahuannya tidak masalah. Misalnya karena anak ingin mengetahui apa jadinya kalau es lilin dimasukkan ke dalam gelas yang berisi teh? Tapi kalau sengaja membanting gelas karena marah atau karena kemauannya tidak dituruti, itu berarti ada masalah besar dengan si anak.
6. Larangan bermain bersama. Anak yang sudah terlihat gejala agresif mereka kita kelompokkan tersendiri.
7. Untuk memperbaiki perilaku agresif bukannya dicampur dengan anak yang kalem, apalagi kalau anak kalem itu lebih introvert, dengan harapan yang agresif akan jadi kalem. Barangkali tidak begitu, justru akan menyebAnak berkebutuhan khususan rasa tidak aman bagi perkembangannya.
Mengacu pada tindakan-tindakan di atas, penanganan anak dengan perilaku agresif harus diperhatikan juga penanganan atas anak yang menjadi korban perilaku tersebut. Tidak jarang, ada sekelompok anak yang selalu menjadi korban dari para jagoan, karena ketidakmampuannya untuk mempertahankan atau membela diri dari perilaku agresif teman yang lain.
Penanganan terhadap anak yang berperilaku agresif harus dilaksanakan secara menyeluruh, artinya semua pihak harus terlibat, termasuk orang tua, guru dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan uraian pembahasan cara penanganan terhadap anak berperilaku agresif di atas dapat disimpulkan bahwa penanganan terhadap anak yang berperilaku agresif harus dilaksanakan secara menyeluruh, artinya semua pihak harus terlibat, termasuk orang tua, guru dan lingkungan sekitarnya. Beberapa alternatfi penanganan terhadap anak berperilaku aresif dengan memberi hukuman yang efektif kepada anak dan perlu adanya pengertian dan kesabaran orangtua.
http://belajarpsikologi.com/tips-menangani-anak-agresif/
Mengasah Harga Diri Remaja
Betapa banyak orang tumbuh dengan perasaan minder, sulit bergaul, dan pemarah! Biasanya kalau ditelusuri asal-muasalnya, perasaan itu muncul karena sejak kecil orang itu tidak bertumbuh dengan harga diri yang cukup. Bisa jadi dia sering dilarang melakukan ini-itu, sehingga masa eksplorasinya terhambat. Atau juga kerap dicela, dipersalahkan, dan jarang dipuji.
Sebagian anak lain tumbuh tanpa pengarahan orang tua, hanya dengan pembantu dan babysitter. Ketika remaja, anak ini menemui peer group-nya dengan tanki cinta yang nyaris kosong. Dia akan mudah dipengaruhi untuk melakukan hal-hal buruk.
Philip J. Henry, dkk dalam buku The Christian Therapist’s Notebook[1] menulis, percaya diri dibangun berdasarkan perasaan yang dipikirkannya tentang kemampuannya dibandingkan dengan prestasi yang dicapai sehari-hari. Dengan kata lain, orang itu bertanya, “Apakah saya sedang melakukan apa yang seharusnya saya lakukan?”
LIMA AREA HARGA DIRI
Ada lima area yang menjadi penyusun rasa percaya diri seseorang yang relatif normal, tidak peduli berapa pun umurnya. Anda, sebagai orang tua bisa menerapkan ke lima area ini sebagai alat analisis kepribadian remaja Anda.
1. Percaya diri rohani (spiritual self esteem) adalah kesesuaian antara apa yang remaja Anda percayai dengan apa yang menjadi perilakunya. Jika anak melihat sesehari perilaku orang tuanya sama dengan apa yang kita percayai dan ajarkan pada anak, maka harga diri rohani anak akan terbentuk. Banyak anak bermasalah dalam hal ini, karena melihat perilaku orang tua atau pembimbingnya berbeda dengan pengajaran yang disampaikannya. Anak sangat membutuhkan contoh atau teladan. Orang tua yang bisa menjadi role model yang baik pada anak akan mudah membangun percaya diri spiritual ini.
2. Self-esteem dalam bidang akademik. Ini adalah kesesuaian antara kemampuan atau prestasi di sekolah dengan yang diyakininya. Kalau anak tahu bahwa dia mampu dan prestasinya juga seimbang, maka self-esteem akademiknya terbentuk dengan baik. Contohnya: Musa, tokoh yang sejak kecil sudah dididik dalam disiplin akademis yang tinggi. Dia sudah belajar pelbagai bahasa yang berbeda pada waktu itu. Sering dilatih ilmu perang dan leadership serta semua ilmu pengetahuan Mesir yang adalah negara adidaya dunia saat itu. Agar anak-anak kita bertumbuh dengan per-caya diri akademik, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan. Pertama, usahakan sejak kecil kita mengenali minat dan bakat anak. Lalu dorong anak mengembangkannya sejak kecil. Tidak sedikit orang tua tergoda memberi anaknya les banyak, dan berharap anaknya pandai dalam banyak bidang.
3. Social self-esteem. Harga diri sosial terbentuk berdasarkan cara keluarga dan teman memandang dirinya. Dua faktor yang membangun percaya diri sosial ini adalah sikap orang tua dan sikap teman sebaya. Kalau anak tumbuh dengan perasaan diterima dan dikasihi orang tua apa adanya, secara emosi dia dekat dengan orang tuanya maka social self-esteem terbentuk baik. Demikian juga saat dia mulai masuk sekolah, dia dilatih bergaul dengan teman-teman di sekolah atau dengan anak-anak tetangga, maka harga diri sosialnya akan terbentuk baik. Sejak kecil usahakan agar anak kita mendapat penerimaan, penghargaan, dan rasa dicintai. Itulah modalnya untuk bisa menerima dan mencintai teman-temannya di sekolah. Umumnya anak yang punya percaya diri sosial baik, cenderung menjadi bintang-bintang pergaulan.
4. Percaya diri emosi (emotional self-esteem). Yaitu, anak kita menyukai dirinya sendiri sebagaimana orang lain menyukai dirinya. Anak tahu kelemahan dan kekuatannya secara emosi, lantas dia menerima dirinya dengan semua kelebihan dan kekurangannya itu. Dia juga mudah mengakui emosi yang ada di dalam dirinya secara asertif. Dia tidak malu mengakui kekurangannya, dan bersedia dikritik oleh orang lain. Di samping itu emosi positifnya seperti kegembiraan dan rasa optimis mudah menular kepada orang lain. Kalau dia sedang marah, dia bisa mengelola kemarahan dengan baik. Jangan heran, mereka akan disukai oleh orang lain. Untuk mengembangkan percaya diri emosi pada anak, orang tua perlu menerima anak apa adanya. Memberi penghargaan kepada setiap emosi anak, baik positif maupun negatif. Kalau anak sedih, orang tua belajar berempati dan menjadi pendengar yang baik. Jika kemarahan anak sedang meledak, orang tua mengizinkan dia melepas kemarahannya secara proporsional, bukan langsung menegur dengan marah saat dia juga sedang kesal.
5. Physical self-esteem atau harga diri fisik. Ini dibentuk oleh dua hal, appearance atau penampilan diri dan ketrampilan. Penampilan diri misalnya, apakah anak ini enak dipandang, wangi, rapi, atau kebalikannya. Anak perlu diajari agar tampil menarik dan bersih. Jangan membedakan si anak dengan kakak atau adiknya. Anak juga harus terampil mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana. Misalnya merapikan tempat tidur, mencuci piring, memperbaiki alat tertentu, menyapu rumah, atau memasak.
Harga diri anak dibangun sejak usia balita. Sebab di lima atau enam tahun pertama otak anak bertumbuh dengan sangat cepat dan 80% sel saraf otak terbentuk. Pada usia ini juga 50% potensi kapasitas otak terbentuk. Pada usia balita terjadi pembentukan fondasi “pembelajaran”, anak sangat haus belajar, termasuk keterampilan dan penampilan. Mari kita siapkan dan bangun harga diri anak sebaik-baiknya sejak dini.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/14/mengasah-harga-diri-remaja/
Sebagian anak lain tumbuh tanpa pengarahan orang tua, hanya dengan pembantu dan babysitter. Ketika remaja, anak ini menemui peer group-nya dengan tanki cinta yang nyaris kosong. Dia akan mudah dipengaruhi untuk melakukan hal-hal buruk.
Philip J. Henry, dkk dalam buku The Christian Therapist’s Notebook[1] menulis, percaya diri dibangun berdasarkan perasaan yang dipikirkannya tentang kemampuannya dibandingkan dengan prestasi yang dicapai sehari-hari. Dengan kata lain, orang itu bertanya, “Apakah saya sedang melakukan apa yang seharusnya saya lakukan?”
LIMA AREA HARGA DIRI
Ada lima area yang menjadi penyusun rasa percaya diri seseorang yang relatif normal, tidak peduli berapa pun umurnya. Anda, sebagai orang tua bisa menerapkan ke lima area ini sebagai alat analisis kepribadian remaja Anda.
1. Percaya diri rohani (spiritual self esteem) adalah kesesuaian antara apa yang remaja Anda percayai dengan apa yang menjadi perilakunya. Jika anak melihat sesehari perilaku orang tuanya sama dengan apa yang kita percayai dan ajarkan pada anak, maka harga diri rohani anak akan terbentuk. Banyak anak bermasalah dalam hal ini, karena melihat perilaku orang tua atau pembimbingnya berbeda dengan pengajaran yang disampaikannya. Anak sangat membutuhkan contoh atau teladan. Orang tua yang bisa menjadi role model yang baik pada anak akan mudah membangun percaya diri spiritual ini.
2. Self-esteem dalam bidang akademik. Ini adalah kesesuaian antara kemampuan atau prestasi di sekolah dengan yang diyakininya. Kalau anak tahu bahwa dia mampu dan prestasinya juga seimbang, maka self-esteem akademiknya terbentuk dengan baik. Contohnya: Musa, tokoh yang sejak kecil sudah dididik dalam disiplin akademis yang tinggi. Dia sudah belajar pelbagai bahasa yang berbeda pada waktu itu. Sering dilatih ilmu perang dan leadership serta semua ilmu pengetahuan Mesir yang adalah negara adidaya dunia saat itu. Agar anak-anak kita bertumbuh dengan per-caya diri akademik, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan. Pertama, usahakan sejak kecil kita mengenali minat dan bakat anak. Lalu dorong anak mengembangkannya sejak kecil. Tidak sedikit orang tua tergoda memberi anaknya les banyak, dan berharap anaknya pandai dalam banyak bidang.
3. Social self-esteem. Harga diri sosial terbentuk berdasarkan cara keluarga dan teman memandang dirinya. Dua faktor yang membangun percaya diri sosial ini adalah sikap orang tua dan sikap teman sebaya. Kalau anak tumbuh dengan perasaan diterima dan dikasihi orang tua apa adanya, secara emosi dia dekat dengan orang tuanya maka social self-esteem terbentuk baik. Demikian juga saat dia mulai masuk sekolah, dia dilatih bergaul dengan teman-teman di sekolah atau dengan anak-anak tetangga, maka harga diri sosialnya akan terbentuk baik. Sejak kecil usahakan agar anak kita mendapat penerimaan, penghargaan, dan rasa dicintai. Itulah modalnya untuk bisa menerima dan mencintai teman-temannya di sekolah. Umumnya anak yang punya percaya diri sosial baik, cenderung menjadi bintang-bintang pergaulan.
4. Percaya diri emosi (emotional self-esteem). Yaitu, anak kita menyukai dirinya sendiri sebagaimana orang lain menyukai dirinya. Anak tahu kelemahan dan kekuatannya secara emosi, lantas dia menerima dirinya dengan semua kelebihan dan kekurangannya itu. Dia juga mudah mengakui emosi yang ada di dalam dirinya secara asertif. Dia tidak malu mengakui kekurangannya, dan bersedia dikritik oleh orang lain. Di samping itu emosi positifnya seperti kegembiraan dan rasa optimis mudah menular kepada orang lain. Kalau dia sedang marah, dia bisa mengelola kemarahan dengan baik. Jangan heran, mereka akan disukai oleh orang lain. Untuk mengembangkan percaya diri emosi pada anak, orang tua perlu menerima anak apa adanya. Memberi penghargaan kepada setiap emosi anak, baik positif maupun negatif. Kalau anak sedih, orang tua belajar berempati dan menjadi pendengar yang baik. Jika kemarahan anak sedang meledak, orang tua mengizinkan dia melepas kemarahannya secara proporsional, bukan langsung menegur dengan marah saat dia juga sedang kesal.
5. Physical self-esteem atau harga diri fisik. Ini dibentuk oleh dua hal, appearance atau penampilan diri dan ketrampilan. Penampilan diri misalnya, apakah anak ini enak dipandang, wangi, rapi, atau kebalikannya. Anak perlu diajari agar tampil menarik dan bersih. Jangan membedakan si anak dengan kakak atau adiknya. Anak juga harus terampil mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana. Misalnya merapikan tempat tidur, mencuci piring, memperbaiki alat tertentu, menyapu rumah, atau memasak.
Harga diri anak dibangun sejak usia balita. Sebab di lima atau enam tahun pertama otak anak bertumbuh dengan sangat cepat dan 80% sel saraf otak terbentuk. Pada usia ini juga 50% potensi kapasitas otak terbentuk. Pada usia balita terjadi pembentukan fondasi “pembelajaran”, anak sangat haus belajar, termasuk keterampilan dan penampilan. Mari kita siapkan dan bangun harga diri anak sebaik-baiknya sejak dini.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/14/mengasah-harga-diri-remaja/
Senin, 07 November 2011
Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Pendidikan behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
Ciri dari teori belajar behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
Ada beberapa tokoh teori belajar behaviorisme. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Teori Belajar Behaviorisme
1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
2. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
3. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5. Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Referensi :
* https://www.msu.edu/~purcelll/behaviorism%20theory.htm
* http://www.scumdoctor.com/psychology/behaviorism/Theory-And-Definition-Of-Behaviorism.html
* http://www.funderstanding.com/content/behaviorism
* http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
Murid Sebagai Korban Penganiayaan
Kita mungkin bisa sepakat apabila mengatakan guru adalah pemimpin dalam kelas. Guru lah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh murid dan bagaimana ia akan berkembang. Guru sendiri harus tunduk kepada sistem pendidikan yang diatur oleh Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Sebuah sistem yang berganti hampir tiap 5 tahun sekali. Bisa dikatakan, kala Presisden diganti, maka sistem pendidikan pun akan berganti.
Murid, yang notabene berada di bawah piramida ini menjadi korban atas ketidak-konsistenan sistem. Sistem yang diatas kertas memiliki tujuan yang baik dan secara kasat mata ideal, tidak dapat teraplikasikan dengan benar saat turun ke sekolah masing-masing. Kurangnya sosialisasi dan tidak adanya waktu untuk beradaptasi menjadi sebuah alasan mengapa sistem yang baru tidak efektif dan efisien.
Hal ini masih ditambahkan dengan berbagai masalah yang melibatkan guru sebagai pengajar, mungkin juga pendidik. Kesejahteraan menjadi isu utama kala kita mendengar kata guru disebut. Telah menjadi rahasia umum bahwa gaji yang diterima guru seringkali bertolak belakang dengan lamanya mengajar. Tidak adanya kejelasan status menjadi salah satu isu yang lain.
Bagaimana seorang guru akan mengajar dengan baik dan tenang apabila urusan dapur masih belum stabil. Bukankah Maslow mengatakan ada yang namanya Hierarki Kebutuhan? Apabila seseorang belum bisa memenuhi kebutuhannya, dia tidak akan berkembang. Dalam hal ini, kebutuhan dasar dari Maslow adalah kebutuhan fisik. Makanan, minuman, tempat tinggal adalah kebutuhan dasar setiap manusia.
Dengan kondisi yang seperti itu, wajar bila seorang guru tidak bisa mengajar dengan maksimal. Walau pun ada beberapa profil guru yang tetap mengajar sukarela tanpa dibayar. Mengajar adalah sebuah pengabdian, tapi abdi tetap butuh makan dan punya keluarga yang harus dihidupi.
Hal ini, berdampak pada murid yang ada di dasar sistem pendidikan. Ketidakmaksimalan guru mengajar menyebabkan potensi murid tidak berkembang maksimal. Memang bukan salah guru sepenuhnya apabila seorang murid tidak mampu mengembangkan potensi mereka. Namun guru ikut bertanggung jawab apabila seorang murid gagal mengembangkan potensinya. Inilah yang menyebabkan murid-murid sekarang menjadi teraniaya. Teraniaya oleh sistem. Teraniaya oleh pengajar. Dan teraniaya oleh tuntutan jaman. Semoga, ke depan ada kumpulan guru yang memutus penganiayaan ini dan menjadi pendidik-pendidik generasi bangsa.
http://www.psikologizone.com/murid-sebagai-korban-penganiayaan/065112520
Murid, yang notabene berada di bawah piramida ini menjadi korban atas ketidak-konsistenan sistem. Sistem yang diatas kertas memiliki tujuan yang baik dan secara kasat mata ideal, tidak dapat teraplikasikan dengan benar saat turun ke sekolah masing-masing. Kurangnya sosialisasi dan tidak adanya waktu untuk beradaptasi menjadi sebuah alasan mengapa sistem yang baru tidak efektif dan efisien.
Hal ini masih ditambahkan dengan berbagai masalah yang melibatkan guru sebagai pengajar, mungkin juga pendidik. Kesejahteraan menjadi isu utama kala kita mendengar kata guru disebut. Telah menjadi rahasia umum bahwa gaji yang diterima guru seringkali bertolak belakang dengan lamanya mengajar. Tidak adanya kejelasan status menjadi salah satu isu yang lain.
Bagaimana seorang guru akan mengajar dengan baik dan tenang apabila urusan dapur masih belum stabil. Bukankah Maslow mengatakan ada yang namanya Hierarki Kebutuhan? Apabila seseorang belum bisa memenuhi kebutuhannya, dia tidak akan berkembang. Dalam hal ini, kebutuhan dasar dari Maslow adalah kebutuhan fisik. Makanan, minuman, tempat tinggal adalah kebutuhan dasar setiap manusia.
Dengan kondisi yang seperti itu, wajar bila seorang guru tidak bisa mengajar dengan maksimal. Walau pun ada beberapa profil guru yang tetap mengajar sukarela tanpa dibayar. Mengajar adalah sebuah pengabdian, tapi abdi tetap butuh makan dan punya keluarga yang harus dihidupi.
Hal ini, berdampak pada murid yang ada di dasar sistem pendidikan. Ketidakmaksimalan guru mengajar menyebabkan potensi murid tidak berkembang maksimal. Memang bukan salah guru sepenuhnya apabila seorang murid tidak mampu mengembangkan potensi mereka. Namun guru ikut bertanggung jawab apabila seorang murid gagal mengembangkan potensinya. Inilah yang menyebabkan murid-murid sekarang menjadi teraniaya. Teraniaya oleh sistem. Teraniaya oleh pengajar. Dan teraniaya oleh tuntutan jaman. Semoga, ke depan ada kumpulan guru yang memutus penganiayaan ini dan menjadi pendidik-pendidik generasi bangsa.
http://www.psikologizone.com/murid-sebagai-korban-penganiayaan/065112520
Langganan:
Postingan (Atom)