1. Yakin telah berhadats (batal wudhu’). Dalilnya :
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari ‘Abbad bin Tamim, dari pamannya, bahwa seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia mendapati sesuatu di dalam shalat. Maka Beliau menjawab: “Janganlah dia berpaling sehingga mendengar suara atau mendapati bau.” [HR Bukhari, no. 137; Muslim, no. 361; dan lain-lain].
2. Meninggalkan sutu rukun dari rukun-rukun shalat (seperti: ruku’, sujud, tuma’ninah, dan lain-lain) atau satu syarat dari syarat-syarat shalat (seperti: wudhu, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lainnya) dengan sengaja tanpa udzur (halangan/alasan).
Batalnya shalat yang disebabkan karena meninggalkan rukun shalat, ini berdasarkan perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seseorang yang melakukan shalat dengan buruk agar mengulangi shalatnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk masjid, lalu seorang laki-laki masuk masjid kemudian dia melakukan shalat. Lalu dia datang, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salamnya, kemudian bersabda: “Kembalilah, lalu shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat!” [HR Bukhari, no. 793; Muslim, no. 397; dan lain-lain]
Dalil batalnya shalat yang disebabkan karena meninggalkan syarat shalat, yaitu hadits:
عَنْ خَالِدٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ
Dari Khalid, dari sebagian sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat, sedangkan pada luar telapak kakinya terdapat bagian kering seukuran uang dirham yang tidak terkena air (wudhu’), maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya. [HR Abu Dawud, no. 175; Ibnu Majah, no. 399; dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
3. Makan atau minum dengan sengaja.
Ibnul Mundzir t berkata: “Ulama (telah) sepakat, barangsiapa makan atau minum di dalam shalat fardhu (wajib) dengan sengaja, dia wajib mengulangi (shalat).” (Al Ijma’, 40). Demikian juga di dalam shalat tathawwu’ (sunah) menurut mayoritas ulama, karena yang membatalkan (shalat) fardhu juga membatalkan (shalat) tathawwu’.
4. Sengaja berbicara bukan karena mashlahat shalat.
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ (وَنُهِينَا عَنْ الْكَلَامِ )
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: “Dahulu kami berbicara di dalam shalat. Seseorang berbicara kepada kawannya yang ada di sampingnya di dalam shalat, sehingga turun (ayat, Red): ‘Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu' (Al Baqarah:238, Red). (Kemudian kami diperintahkan diam dan dilarang berbicara).” [HR Bukhari, no. 1.200; Nasa’i (3/18); tambahan dalam kurung riwayat Muslim, no. 539; Tirmidzi, no. 4003; Abu Dawud, no. 936].
Asy Syaukani rahimahullah (kemudian diikuti oleh Shiddiq Hasan Khan rahimahullah) berkata: “Tidak ada perselisihan di antara ulama, bahwa orang yang berbicara secara sengaja dan dia mengetahui (hukumnya), maka orang ini shalatnya batal. Yang menjadi perselisihan, hanyalah tentang berbicaranya orang yang lupa dan orang yang tidak mengetahui bahwa itu larangan. Mengenai orang yang tidak tahu, maka dia tidak mengulangi shalat (dengan kata lain shalatnya sah, Red) (berdasarkan) zhahir hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami yang sah dalam kitab shahih … Sedangkan orang yang lalai dan orang yang lupa, maka zhahirnya tidak ada perbedaan antara dia dengan orang yang sengaja dan tahu dalam hal batalnya shalat.” [1]
5. Tertawa dengan bersuara.
Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ ulama tentang batalnya shalat yang disebabkan oleh tertawa. (Al Ijma’, 40). Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim berkata: “...... karena tertawa lebih buruk dari berbicara, karena hal itu disertai dengan meremehkan dan mempermainkan shalat. Dan telah datang beberapa riwayat dari para sahabat yang menunjukkan batalnya shalat yang disebabkan oleh tertawa.” [2]
6. Lewatnya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam, di hadapan orang yang shalat pada tempat sujudnya.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Dzarr, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang di antara kamu berdiri shalat, jika di hadapannya ada semisal kayu sandaran pada pelana unta, [3] maka itu akan menutupinya. Jika di hadapannya tidak ada semisal kayu sandaran pada pelana unta, maka sesungguhnya shalatnya akan dibatalkan oleh (lewatnya) keledai, wanita dewasa, atau anjing hitam.” Aku (Abdullah bin Ash Shamit, perawi sebelum Abu Dzarr) bertanya: “Wahai, Abu Dzarr, apa masalahnya anjing hitam dari anjing merah dan anjing kuning?” Abu Dzarr menjawab: “Wahai, anak saudaraku. Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu Beliau menjawab ‘anjing hitam adalah syetan’.” [HR Muslim, no. 510; Nasa’i (1/2/63); Tirmidzi, no. 337; Abu Dawud, no. 688].
Dalam masalah ini, sesungguhnya terjadi perselisihan. Sebagaian ulama berpendapat batal shalatnya, sebagian lainnya berpendapat berkurang nilai shalatnya, sebagian lainnya berpendapat hadits ini telah mansukh (dihapuskan hukumnya), sebagaimana dijelaskan oleh An Nawawi di dalam syarah (penjelasan) hadits ini.
Namun yang paling kuat, ialah pendapat pertama, berdasarkan zhahir hadits ini. Yaitu pendapat Syaikh Al Albani sebagaimana di dalam Sifat Shalat Nabi, hlm. 85, catatan kaki, no. 1 [Penerbit Maktabah Al Ma’arif]
Inilah enam perkara yang membatalkan shalat sebagaimana disebutkan Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi [4].
Selain itu, adalagi perkara lain yang disebutkan oleh sebagian ulama yang termasuk membatalkan shalat, yaitu menyibukkan diri dengan perbuatan yang bukan termasuk shalat.
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Mengenai batalnya shalat dengan sebab menyibukkan diri dengan perbuatan yang bukan bagian dari shalat, hal itu dengan syarat jika perbuatan itu menyebabkan orang yang shalat keluar dari keadaan shalat. Seperti orang yang menyibukkan dengan menjahit, melakukan pekerjaan tukang kayu, berjalan banyak, menoleh lama, atau semacamnya.”[5]
Penulis kitab Manarus Sabil, Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad bin Dhauyan rahimahullah, ketika menjelaskan perkara-perkara yang membatalkan shalat, (di antaranya) beliau menyatakan: “Berbuat (bergerak) banyak menurut kebiasaan, bukan perbuatan yang termasuk jenis (perbuatan) shalat, tanpa darurat. Seperti berjalan, garuk-garuk, istirahat. Jika perbuatan itu banyak, berturut-turut, (maka) hal itu, menurut Ijma’ membatalkan shalat. Itu dikatakan di dalam kitab Al Kafi. Dia juga mengatakan: “Jika perbuatan itu sedikit, tidak membatalkannya.” [6].
Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah, ketika menjelaskan perkara-perkara yang membatalkan shalat, antara lain beliau menyebutkan: “Dan dengan gerakan yang banyak secara berturut-turut tanpa darurat.” [7]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan perkara-perkara yang membatalkan shalat, antara lain beliau menyebutkan: “(Perbuatan) sia-sia yang banyak, yang berturut-turut di dalam shalat. [8]
Imam Shidiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Mereka (ulama) bersepakat bahwa perbuatan (gerakan) yang sedikit tidak membatalkan shalat.” [9]
Tetapi, dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat tentang ukuran perbuatan (gerakan) yang bisa membatalkan shalat.
Imam Shidiq Hasan Khan rahimahullah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan: “Yang saya pandang sebagai jalan untuk mengetahui perbuatan itu banyak (yang membatalkan shalat), hendaklah orang yang berbicara tentang hal ini memperhatikan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (di dalam shalat), seperti menggendong Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi, Red), naik-turun Beliau pada mimbar dalam shalat, dan semacamnya yang terjadi pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan untuk membenahi shalat. Kemudian orang yang memperhatikan ini (hendaklah, Red) menghukuminya sebagai perbuatan yang tidak banyak. Demikian juga apa yang terjadi untuk membenahi shalat. Misalnya, seperti Beliau melepaskan sandalnya, ijin Beliau untuk membunuh ular dan semacamnya, lebih pantas dihukumi sebagai perbuatan yang tidak banyak. [10]
Adapun yang Antum sebutkan, yaitu minum teh manis setelah wudhu’, maka itu tidak termasuk perkara yang membatalkan wudhu’. Tetapi jika seseorang sedang melakukan shalat lalu dia minum teh atau minuman lainnya, tentu hal itu membatalkan shalat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Ad Dararil Mudhiyyah, hlm. 68; Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah, 1/304-306.
[2] Shahih Fiqhis Sunnah (1/363).
[3]. Kayu ini tingginya sekitar sehasta
[4]. Lihat kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz, hlm. 109-110, Penerbit Dar Ibni Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M.
[5]. Lihat Ad Dararil Mudhiyyah, hlm. 68; Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah (1/304-306).
[6]. Manarus Sabil (1/109), Penerbit Jum’iyah Ihyait Turats Al Islami.
[7]. Manhajus Salikin, hlm. 72.
[8]. Durusul Muhimmah Li ‘Ammatil Ummah, Bab Mubtilat Ash Shalat (Perkara-perkara yang membatalkan shalat).
[9]. Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah (1/309).
[10]. Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah (1/307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar