Cognitive
Behavior Counseling
Pendahuluan
Menurut
Gerald Corey, konseling perilaku (konseling Behavior) adalah penerapan aneka
ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar.
Penerapan prinsip-prinsip belajar ini berakar pada teori pengkondisian klasik
dari Ivan Pavlov maupun teori pengkondisian operan dari B.F. Skinner.
Penekanan
istilah belajar dalam pengertian ini ialah atas pertimbangan bahwa konselor
membantu konseli belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan membantu
proses belajar menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga konseli dapat
mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya.
Konseling
Kognitif Perilaku, merupakan penggabungan teknik-teknik dari perspektif
perilaku dengan teknik-teknik dari perspektif kognitif, karena dalam
perkembangannya para praktisi teori konseling perilaku menyadari, adanya
keterbatasan dalam teori-teori belajar dan mengakui peran kognisi, dalam
mempengaruhi perilaku.
Definisi
Menurut
Aaron T Beck (1964) mendefinisikan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) sebagai
pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli
pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang
menyimpang. Pendekatan ini didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan
strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada
konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku
konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturiasasi kognitif dan system
kepercayaan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Matson
& Ollendick (1988:44) mengungkapkan definsi Cognitive Behavior Therapy
yaitu, pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan
kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus konseling yaitu persepsi,
kepercayaan dan pikiran.
Bush
(2003) mengungkapkan bahwa CBT, merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam
psikoterapi, yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif
memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi
individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Tidak hanya berkaitan dengan
positive thingking, tetapi terapi kognitif berkaitan pula dengan happy
thinking.
Terapi
tingkah laku membantu hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi (merespon) permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas
dan membantu membuat keputusan yang tepat.
Berdasarkan
paparan definisi mengenai CBT, maka dapat disimpulkan bahwa CBT adalah
pendekatan konseling, yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik
secara fisik maupun psikis.
CBT
merupakan konseling yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan
mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa
dan bertindak dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan,
bertanya, bertindak dan memutuskan kembali.
Sedangkan
pendekatan pada aspek behavior (perilaku) diarahkan untuk membangun hubungan
yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan merespon masalah.
Isi
Konsep
utama dari kognitif-perilaku adalah peleburan antara pendekatan perilaku dan
kognitif. Kognitif-perilaku merupakan pencampuran dari strategi perilaku dan
proses kognitif yang bertujuan untuk mencapai perubahan kognisi dan perilaku
manusia (Capuzzi, 2009).
Konseling
kognitif perilaku (CBT) dapat dilaksanakan secara efektif baik dalam latar
individu atau kelompok. Konseling kelompok kognitif-perilaku dapat dilaksanakan
dalam dua format kegiatan :
-
kelompok
homogeny, yaitu dimana semua anggota mempunyai masalah yang sama dan
-
format
kelompok terbuka, dimana anggota kelompok bergiliran mengungkapkan masalah mana
yang ingin dibahas. (Vernon
dalam Erford, 2004)
Metode
konseling ini juga dapat digunakan untuk menangani berbagai macam gangguan
perilaku yang maladaptive dalam berbagai latar dan kelompok, baik secara
populasi maupun subjek (Darminto,2007).
Pendekatan
Pandangan tentang
manusia
Tokoh
/ pakar seperti Bandura, Kamfer dan Philips (1970), Cautela dan Baron (1977)
dan Ellis (1977), menekankan peranan dari persepsi, pikiran dan keyakinan, yang
semuanya bersifat kognitif, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam
rangkaian Stimulus-Respon. Manusia dapat mengatur perilakunya sendiri dengan
mengubah tanggapan kognitifnya dan menentukan sendiri Reinforcement yang
diberikan kepada dirinya sendiri.
Peran dan Fungsi
Konselor
Pada
pendekatan kognitif behavioral, seorang konselor bersifat lebih menjadi
pendengar yang sensitif dan empatik, ketika mendengarkan masalah konseli.
Hubungan yang demikian akan memudahkan konselor mencari informasi dari konseli.
Dengan menggunakan teori behavioral dan kognitif sebagai petunjuk, konselor
mencari secara detail informasi mengenai masalah yang dialami oleh konseli,
sehingga konselor dapat mengetahui bagaimana, kapan dan situasi ketika masalah
itu terjadi.
Pada
saat konseling, seorang konselor menggunakan pendekatan kognitif behavioral
sangat jarang menggunakan kata “kenapa”, seperti “kenapa kamu cemas sebelum
ujian?” atau “kenapa kamu stress saat bekerja?”. Biasanya seorang konselor
lebih suka menggunakan kata “bagaimana”,”kapan”,
“dimana”, dan “apa”, ketika mereka memahami faktor yang menjadi inti dari
masalah konseli.
Tugas
konselor kognitif behavioral adalah membantu konseli untuk bertindak seperti
ilmuwan dalam menemukan validitas peta atau model pribadinya dan membuat
pilihan berkenaan dengan elemen mana yang dipertahankan dan mana yang diubah.
Konselor kognitif-behavioral biasanya akan menggunakan berbagai teknik
intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli.
Teknik
yang biasa digunakan adalah :
-
Menantang
keyakinan irasional
-
Membingkai
kembali isu, missal : menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang
menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan
-
Mengulang
kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor
-
Mencoba
penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi riil
-
Mengukur
perasaan, missal : menempatkan perasaan cemas yang ada saat ini dalam skala
0-100.
-
Menghentikan
pikiran. Ketimbang membiarkan pikiran cemas atau obsessional “mengambil alih”,
lebih baik konseli belajar untuk “menyadarkan diri” mereka.
Prinsip-prinsip
Konseling Kognitif Behavior
Pemahaman
terhadap prinsip-prinsip terapi ini akan mempermudah konselor dalam memahami
konsep, strategi dalam merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta
penerapan teknik-teknik Konseling kognitif behavior.
Berikut
adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT (Cognitive Behavior Therapy) berdasarkan
kajian yang diungkapkan Beck (2011),
1.
Cognitive
Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus berkembang dari
permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli.
2.
Cognitive
Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara konselor dan
konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli.
3.
Cognitive
Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif.
4.
Cognitive
Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada permasalahan.
5.
Cognitive
Behavior Therapy berfokus pada kejadian saat ini.
6.
Cognitive
Behavior Therapy merupakan Edukasi, bertujuan untuk mengajarkan konseli untuk
menjadi terapis bagi dirinya sendiri dan menekankan pada pencegahan
7.
Cognitive
Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas.
8.
Sesi
Cognitive Behavior yang terstruktur.
9.
Cognitive
Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan
menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka.
10. Cognitive Behavior Therapy
menggunakan berbagai teknik untuk merubah pemikiran, perasaan dan tingkah laku.
Teknik-teknik
Terapi Konseling Kognitif Behavior
a. Operant Conditioning
Terdapat
2 prinsip dalam operant conditioning yaitu bagaimana kebiasaan itu dipelajari
dan teknik yang digunakan untuk memodifikasi tingkah laku. Penggunaan teknik
operan kondisioning dapat digunakan oleh konselor jika tempat konselor sebaik
dengan lingkungan tempat masalah konseli terjadi. Jika konseli merasakan adanya
koneksi positif dengan konselor, maka dia akan menerima apa yang diarahkan oleh
konselor. Konselor dapat menjadi seorang yang memberikan dukungan potensial
untuk mengubah perilaku seorang individu. Konselor Behavioral memutuskan
perilaku apa yang harus diubah dan jika teknik reinforcement sesuai dengan
kondisi konseli maka konselor akan menggunakan teknik tersebut biasanya dengan
dalam bentuk verbal.
b. Desensitization
Terdapat empat langkah dalam
melaksanakan metode Systematic Desensitization, yaitu :
1.
Memberikan
konseli rasionalisasi
2.
Relaksasi
training
3.
Konselor
dan konseli bekerjasama dalam membangun bayangan tentang hirarki dan kecemasan
4.
Desensitization
proper
Salah satu jenis dari systematic
desensitization adalah in vivo desensitization. Jenis ini memilliki kesamaan
prosedur dalam penanganan kecuali masalah hirarki kecemasan. Pada in vivo
desensitization, konselor memegang penuh dalam penanganan hirarki kecemasan
konseli.
c. Flooding
Flooding adalah kebalikan dari
systematic desensitization. Flooding menekankan kepada maksimalisasi kecemasan.
Salah satu bentuk dari Flooding adalah in vivo flooding, yang sangat cocok jika
digunakan untuk menghadapi Agoraphobics. Flooding adalah salah satu metode yang
potensial dan memiliki tingkat resiko yang tinggi. Jika metode ini dilakukan
oleh konselor yang tidak berpengalaman akan menyebabkan seorang konseli merasa
stress.
d. Assertivness dan Social Skill
Training
Ketika konselor sedang melakukan
konseling kepada seorang konseli, kadang-kadang mereka segan untuk menunjukkan
ekspresinya dan mereka tidak menjadi diri mereka yang sebenarnya. Dalam hal ini
keahlian seorang konselor behavioral-kognitif di uji. Salah satu strategi yang
sering digunakan adalah behavioral
rehearsal. Strategi ini berupa upaya konselor membantu konseli dengan cara
bermain peran. Konselor pada strategi ini berperan sebagai seseorang yang
berpengaruh terhadap konseli.
e. Participant Modeling
Participant Modeling efektif jika
digunakan untuk menelong seseorang yang mengalami kecemasan yang bersifat tidak
menentu dan sangat baik digunakan ketika menolong seseorang yang mengalami
ketakutan sosial (social phobia). Terdapat beberapa langkah yang diperlukan
untuk dapat melakukan Participant Modeling secara baik, yaitu yang pertama
mengajarkan kepada konseli teknik relaksasi seperti mengambil nafas yang dalam.
Langkah kedua, konselor dan klien berjalan bersama dan konseli sambil mengambil
nafas dalam. Langkah terakhir konseli mempraktekan apa yang telah dia pelajari.
Dalam setiap langkah diatas konselor hendaknya melakukan dukungan yang positif
kepada setiap perilaku konseli dengan cara pujian.
f. Self Control Procedures
Metode self control bertujuan
untuk membantu konseli mengontrol dirinya sendiri. Metode self control
menegaskan bahwa konseli adalah sebagai agen aktif yang dapat mengatasi dan
menggunakan pengendalian secara efektif dalam kondisi mengalami masalah. Metode
ini paling tepat digunakan dalam kondisi dimana lingkungan terdapat penguatan
jangkan panjang secara natural.
Terdapat tiga langkah bagian
dalam self control procedures, yaitu:
1.
Meminta
konseli secara teliti memperhatikan kebiasaannya
2.
Meminta
kejelasan target / tujuan yang ingin dicapai
3.
Melaksanakan
treatment
g. Contigency Contracting
Contigency Contracting adalah
bentuk dari manajemen behavioral dimana hadiah dan hukuman untuk perilaku yang
diinginkan dan perilaku yang tidak dapat dihindari terbentuk. Konselor dan
konseli bekerjasama untuk mengidentifikasi perilaku yang perlu dirubah. Saat
penilaian, konselor dan konseli memutuskan siapa yang memberikan penguatan dan
berupa apa penguatan tersebut. Treatment dapat berlangsung dengan menggunakan
konseli sendiri atau orang lain. Penguatan dapat diberikan setiap tujuan perilaku
yang ingin dibentuk termanifestasi. Setelah hal itu terjadi, konseli bisa
mendapatkan hadiah atau hukuman. Hadiah akan diberikan jika perilaku yang
diinginkan tercapai dan hukuman diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan
muncul.
h. Cognitive Restructuring
Metode ini agak berbeda dengan
metode yang lain, karena metode ini menginginkan perubahan kognitif tidak
seperti metode lain yang berakhir ketika adanya perubahan perilaku. Meichenbaum
dan Deffenbacher menjelaskan cognitions
may be in the form of cognitive events, cognitive processes, cognitive
structures, or all these. Peristiwa kognitif dapat berupa apa yang konseli
katakan tentang dirinya sendiri, bayangan yang mereka miliki, apa yang mereka
sadari dan rasakan. Proses kognitif berupa proses pemrosesan informasi.
Struktur kognitif berupa anggaran dan kepercayaan tentang dirinya sendiri dan
dunia yang berhubungan dengan dirinya.
Prosedur dari cognitive
restructuring adalah sebagai berikut :
1.
Evaluating
how valid and viable are the clients thought and beliefs
2.
Assesing
what clients expect, what they tend to predict about their behavior and others
responses to them.
3.
Exploring
what might be a range of causes for clients behavior and other reactions
4.
Training
clients to make more effective attributions about these causes
5.
Altering
absolutistic, catastrophic thinking styles. (Meichenbaum and Deffenbacher dalam
Charles Gelso dan Bruce Fretz, 2001)
Merencanakan Proses
dan Sesi Konseling
Perencanaan
diperlukan untuk mempermudah proses konseling. Pada umumnya konseli lebih
merasa nyaman ketika mereka mengetahui apa yang akan didapatkan dari setiap
sesi konseling, mengetahui dengan jelas apa yang dilakukan dari setiap sesi
konseling, merasa sebagai tim dalam proses konseling, serta ketika konseli
memiliki ide-ide konkrit mengenai proses konseling dan ketercapaian konseling.
Perencanaan
dari setiap sesi konseling tentunya harus didasarkan pada gejala-gejala yang
ditunjukan oleh konseli, konseptualisasi
konselor, kerjasama yang baik antara konselor dan konseli, serta evaluasi tugas
rumah yang dilakukan oleh konseli.
Menurut
teori Cognitive Behavior, yang dikemukakan Aaron T Beck, konseling cognitive
behavior memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan. Setiap langkah disusun secara
sistematis dan terencana.
No.
|
Proses
|
Sesi
|
1.
|
Assesmen
dan Diagnosa
|
1-2
|
2.
|
Pendekatan
Kognitif
|
2-3
|
3.
|
Formulasi
Status
|
3-5
|
4.
|
Fokus
Konseling
|
4-10
|
5.
|
Intervensi
Tingkah Laku
|
5-7
|
6.
|
Perubahan
Core Beliefs
|
8-11
|
7.
|
Pencegahan
|
11-12
|
Oemarjoedi (2003:12)
Namun
melihat kultur yang ada di Indonesia,
penerapan sesi berjumlah 12 sesi pertemuan dirasakan sulit untuk dilakukan.
Oemarjoedi (2003:12) mengungkapkan beberapa alasan tersebut berdasarkan
pengalaman, diantaranya:
a. Terlalu lama, sementara konseli
mengharapkan hasil yang dapat segera dirasakan manfaatnya.
b. Terlalu rumit, dimana konseli
yang mengalami gangguan umumnya datang dan berkonsultasi dalam pikiran yang
sudah begitu berat, sehingga tidak mampu lagi mengikuti program konseling yang
merepotkan, atau karena kapasitas intelegensi dan emosinya yang terbatas.
c. Membosankan, karena kemajuan dan
perkembangan konseling menjadi sedikit demi sedikit.
d. Menurunnya keyakinan konseli akan
kemampuan konselornya, antara lain karena alasan-alasan yang telah disebutkan
di atas, yang dapat berakibat pada kegagalan konseling.
Berdasarkan beberapa alasan
tersebut, penerapan konseling kognitif behavior di Indonesia sering kali mendapatkan
hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih fleksibel. Jumlah
pertemuan konseling yang tadinya memerlukan sedikitnya 12 sesi bisa saja
menjadi kurang dari 12 sesi. Sebagai perbandingan berikut akan disajikan
efisiensi konseling menjadi 6 sesi, dengan harapan dapat memberikan bayangan
lebih jelas dan mengundang kreatifitas yang lebih tinggi.
Proses konseling kognitif
behavior yang telah disesuaikan dengan kultur di Indonesia
No.
|
Proses
|
Sesi
|
1.
|
Assesmen dan
Diagnosa
|
1
|
2.
|
Mencari akar
permasalahan yang bersumber dari emosi negatif, penyimpangan proses berfikir
dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan
|
2
|
3.
|
Konselor bersama
konseli menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekuensi
positif-negatif kepada konseli
|
3
|
4.
|
Menata kembali
keyakinan yang menyimpang
|
4
|
5.
|
Intervensi
tingkah laku
|
5
|
6.
|
Pencegahan dan
Training Self Help
|
6
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar