TUGAS
MAKALAH
MATA KULIAH
BIMBINGAN KONSELING
“KONSELING
NON-DIREKTIF”
OLEH :
Adi Handoko
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOROBUDUR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap
manusia pada dasarnya memerlukan bimbingan sejak kecil untuk mempersiapkan masa
dewasanya kelak supaya dapat diterima oleh lingkungan tempat tinggalnya.
Masyarakat dengan bimbingan yang benar akan berjalan baik dan terarah. Begitu
juga kepada para pelajar. Seperti kita telah ketahui bahwa bimbingan merupakan
proses tuntunan, arahan secara terencana dan terus menerus terhadap peserta
didik untuk menuju kedewasan atau kematangan mampu memecahkan masalah-masalah/
problem yang dihadapi guna mencapai kesejahteraan hidupnya. Dengan melihat
pengertian disamping bahwa tidak dapat kita kesampingkan bahwa kode etik juga
penting bagi seorang pembimbing, sehingga konselor tidak akan berjalan
seenaknya saja.
Oleh sebab
itu maka penulis akan membahas mengenai tehnik bimbingan konseling non direktif
agar bisa menambah pengetahuan mendalam mengenai bimbingan dan konseling pada
anak didik sehingga akan menjadi pencerahan tersendiri.
B. Rumusan
Masalah
1.
Prinsip-prinsip Konseling Non-Direktif
2.
Proses Konseling Non-Direktif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip-prinsip
Konseling Non-Direktif
1.
Pengertian Konseling Non-Direktif
Client-Centered
Therapy atau Psikoterapi Non-Direktif adalah
suatu metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara
konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri
klien yang ideal) dengan actual self (diri klien sesuai
kenyataan yang sebenarnya).
2.
Ciri-ciri Hubungan Non-Direktif
a.
Menempatkan
klien pada kedudukan sentral, klien aktif untuk mengungkapkan dan mencari
pemecahan masalah. Jadi,
hubungan ini menekankan pada aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri.
b.
Konselor
berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien
untuk bisa berkembang sendiri. Jadi, konselor berperan membantu klien dalam
merefleksikan sikap dan perasaan-perasaannya.
Ciri-ciri hubungan otoriter:
a.
Klien atau siswa adalah merupakan
objek dari subjek yang memegang otoritas (guru, orang tua, atau konselor).
Sedangkan siswa/klien harus mengikuti dan taat kepada apa yang digariskan oleh
pemegang otoritas.
b.
Pemegang otoritas adalah orang yang
paling tahu segala hal, dialah yang menunjukkan, mencarikan atau memberikan
jalan pada klien. Jadi, pemegang otoritas adalah berperan sebagai faktor
penentu bagi klien.
3.
Dasar Pandangan Non-Direktif tentang
Individu
Konseling non-direktif sering pula disebut “client-centered
counseling”, yang memberikan suatu gambaran bahwa proses konseling yang
menjadi pusatnya adalah klien, dan bukan konselor. Karena itu, dalam proses
konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di pundak klien itu sendiri.
Dalam pemecahan masalah, maka klien itu sendiri didorong oleh konselor untuk
mencari serta menemukan cara yang terbaik dalam pemecahan masalahnya.
Konseling non-direktif dikembangkan oleh Carl R.
Rogers guru besar dalam Psikologi dan Psikiatri, Universitas Wisconsin, dan
dipandang sebagai Bapak Konseling Non-Direktif (client-centered counseling).
a. Dasar filsafat Rogers mengenai
manusia
Dasar filsafat Rogers mengenai manusia berorientasi
kepada filosofi humanistic. Dasar filsafat Rogers dimaksud ialah bahwa:
1)
Inti sifat manusia adalah positif,
sosial, menuju ke muka, dan realistik
2)
Manusia pada dasarnya adalah
kooperatif, konstruktif, dan dapat dipercaya.
3)
Manusia mempunyai tendensi dan usaha
dasar untuk mengaktualisasi pribadi, berprestasi dan mempertahankan diri.
4)
Manusia mempunyai kemampuan dasar
untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat pemilihan yang benar, apabila ia
diberi situasi yang bebas dari ancaman.
b.
Pokok-pokok teori Rogers
Ada
tiga pokok teori mengenai kepribadian yang di kemukakan oleh Rogers yang
mendasari teknik konselingnya. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1)
Organisme
Organisme yaitu
totalitas inividu yanf memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
a.
Bereaksi secara keseluruhan sebagai
satu kesatuan yang teratur terhadap medan phenomenal untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
b.
Memiliki motif dasar, yaitu
mengaktualisasi, mempertahankan dan mengembangkan diri.
c.
Organisme kemungkinan melambangkan
pengalaman-pengalaman, sehingga menjadi disadari atau menolak untuk melambangkan
pengalaman-pengalaman tersebut sehingga tetap tidak disadari, atau kemungkinan
tidak memperdulikan pengalaman tersebut.
2) Medan phenomenal
Medan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang
pernah dialami. Pengalaman tersebut disadari atau tidak tergantung dari apakah
pengalaman tersebut disimbolkan atau tidak. Medan phenomenal hanya dapat
mengetahui pengalaman seseorang melalui kesimpulan atas dasar empatik (empatic
inference). Kesadaran
tercapai kalau pengalaman itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari :
a.
Pengalaman
yang tersimbolisasikan, dan
b.
Pengalaman
yang tidak tersimbolisasikan.
Organisme bereaksi terhadap kedua hal tersebut.
Kemungkinan ada bahwa pengalaman tidak dapat dites dengan kenyataan, sehingga
mungkin dilaksanakan tindakan yang tak realistis.
3) Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan
phenomenal, yang berisi pola pengalaman dari penilaian yang sadar dari subjek.
Dari pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat membentuk pola pengamatan dan
penilaian terhadap diri sendiri secara sadar baik orang tersebut sebagai objek.
Self ini juga dinamakan juga self-concept (konsep diri).
Berkaitan dengan client-centered counseling dari Carl
R. Rogers menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada klien haruslah
dilandasi pada pemahaman klien tentang dirinya. Atau dengan kata lain
pendekatan. Rogers mentitikberatkan kepada kemampuan klien untuk menentukan
sendiri masalah-masalah yang terpenting bagi dirinya dan memecahkan sendiri
masalahnya. Campur tangan konselor sedikit sekali. Klien akan mampu menghadapi
sifat-sifat dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan
terancam dan cemas, sehingga ia menuju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai
yang selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek
dirinya sebagai sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep diri (self-concept
or self structure) adalah merupakan gambaran seseorang tentang dirinya
sendiri. Gambaran yang lengkap tentang dirinya meliputi berbagai kemampuan,
kelemahan, sifat-sifatnya, dan bagaimana hubungan dirinya dengan lingkungannya.
Jadi, konsep diri adalah bagaimana inividu menyadari dirinya sendiri, dan
mengenal dirinya sendiri.
c.
Teori kepribadian Rogers
Rogers memandang manusia sebagai makhluk sosial, maju
terus, rasional, dan realistik. Manusia bukan robot atau mesin, bukan pula
kumpulan dan reaksi-reaksi terhadap berbagai respon dan bukan objek. Manusia
itu adalah subjek yang utuh, aktif dan unik. Pendapat Carl R. Rogers dirumuskan
dalam 19 dalil (Carl R. Rogers Ph.D., Client-Centered Therapy,
Houghton-Mifflin Company, Boston 1962, halaman 483-424) disarikan sebagai
berikut:
1) Tiap inividu ada dalam dua
pengalamannya yang selalu berubah-ubah, yang pusatnya adalah dia. Manusia
selalu ada dalam dunianya, yang dunia sebagaimana dihayatinya. Maknanya pada
inividu bersangkutan. Karena itu sumber informasi yang paling tepat mengenai
seseorang adalah orang yang bersangkutan itu sendiri.
2) Organisme bereaksi terhadap medan
termpat dia ada menurut penghayatannya mengenai medan itu. Medan persepsi itu
adalah realistas bagi inividu yang bersangkutan. Sesuatu hal yang secara
objektif sama mungkin berarti berbeda bagi inividu lain atau bagi inividu yang
sam dalam kondisi yang berlainan.
3) Organisme bereaksi terhadap medan
phenomenal sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi. Apa yang dilakukan
inividu dalam sesuatu keseluruhan, meliputi keseluruhan kepribadiannya.
4) Organisasi mempunyai satu
kencenderungan, dan dorongan dasar, yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan,
dan meningkatkan organisme yang menghayati. Pada diri inividu terdapat dorongan
untuk maju dan dorongan untuk mengejar perkembangan yang lebih lanjut dan
meningkat, yang pada akhirnya mencapai aktualisasi diri, yaitu pribadi yang
dalam taraf optimal.
5) Perilaku pada dasarnya adalah
terarah kepada tujuan, yang dilakukan oleh inividu untuk memuaskan kebutuhannya
sebagaimana dihayatinya dalam dunianya, yaitu dunia menurut penghayatannya.
6) Emosi menyertai dan pada umumnya
menunjang perilaku yang terarah pada tujuan itu. Emosi ada sebagai dari reaksi
total organisme terhadap phenomenalnya. Dengan arti lain dapat dikatakan bahwa
kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil oleh inividu adalah sesuai
dengan konsep dirinya (self-concept). Sehingga cara yang terbaik untuk mengubah
perilaku adalah dengan terlebih dahulu mengubah konsep mengenai dirinya.
7) Sudut pandang terbaik untuk memahami
perilaku inividu adalah kerangka acuan yang ada dalam diri inividu yang
bersangkutan. Dengan arti lain bahwa untuk memahami perilaku inividu ialah
dengan cara memahami kerangka orientasinya (bagaimana inividu memandang dunia
sekitarnya)
8) Suatu bagian dari medan penghidupan
secara keseluruhan secara berangsur-angsur terdefinisikan menjadi diri atau
self.
9) Sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungan, terutama sebagai hasil dari interaksi evaluasi dengan orang-orang
lain, terbentuklah “diri” itu, yaitu suatu konsep pola kehidupan aku yang
kenyal dan konsisten, yang padanya terletak pola sistem nilai. Atau dengan kata lain “konsep diri”
itu terbentuk karena inividu berinteraksi dengan lingkungan.
10) Nilai-nilai yang terletak pada
pengalaman, dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur diri, adalah
nilai-nilai yang dihayati langsung oleh inividu atau yang diintrojeksikan dari
penghayatan orang lain, tetapi yang telah diwarnai oleh makna yang diberikan
oleh inividu yang bersangkutan. Jadi, nilai-nilai yang membentuk konsep diri
itu diperoleh inividu secara langsung atau dari orang lain.
11) Hal-hal dalam dunia pengalaman seseorang
itu ditangkap oleh orang yang bersangkutan dalam tiga cara, yaitu :
a. Dilambangkan, dihayati, dan
diorganisasikan ke dalam hubungan tertentu dengan diri,
b. Diabaikan karena tidak ada terlihat
hubungan dengan struktur diri, atau
c. Ditolak atau dilambangkan dengan
perubahan karena hal yang dihadapi itu tidak konsisten dengan struktur diri.
Jadi, pengalaman yang diperoleh inividu, mungkin akan
diterima dan dihubungkan dengan konsep diri, mungkin pula ditolak, dibuang,
atau disingkirkan karena tidak cocok dengan konsep diri.
12) Kebanyakan cara-cara berperilaku
yang dijalankan oleh inividu adalah perilaku yang konsisten dengan konsep diri.
Perilaku seseorang itu sejalan dengan konsep tentang dirinya.
13) Dalam beberapa hal perilaku mungkin
ditimbulkan oleh pengalaman organik atau kebutuhan yang belum dilambangkan.
Perilaku yang demikian itu tidak konsisten dengan struktur diri, tetapi yang
demikian itu sebenarnya perilaku menjadi “bagian” dari inividu yang
bersangkutan atau perilaku itu dapat berasal dari pengalaman dan
dapat pula berasal dari kebutuhan yang belum diketahui.
14) Penyesuaian psikologis
yang tidak baik terjadi bilamana organisme menolak menyadari
pengalaman-pengalaman dan viseral yang penting, yang karenanya dilambangkan dan
diorganisasikan ke dalam struktur diri. Apabila hal yang demikian ini
berlangsung, maka akan terjadi ketegangan psikologis. Ganguan psikologis
(mental) terjadi apabila inividu menolak kenyataan yang tidak sesuai dengan
konsep dirinya.
15) Penyesuainan psikologis yang baik
terjadi apabila diri itu memungkinkan semua pengalaman sensoris dan viseral
organisme dapat diasimilasikan dengan simbolik kedalam relasasi yang konsisten
dengan konsep diri.
16) Setiap pengalaman yang tidak
konsisten dengan organisasi atau struktur diri mungkin diamati sebagai ancaman,
dan semakin banyak struktur pengalaman yang demikian kukuhlah diri itu
diorganissasikan, untuk mempertahankan diri.
17) Pada kondisi-kondisi tertentu, bila
sama sekali tidak menimbulkan ancaman terhadap struktur diri, maka
pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur diri itu mungkin
diamati, diuji, dan struktur diri direvisi agar dapat mengasimilasi dan
mencakup pengalaman-pengalaman yang demikian itu. Dengan demikian, dapat
dikatakan apabila pengalaman baru itu tidak menimbulkan ancaman, maka
pengalaman ini akan diterima dan dapat merubah atau memperbaiki konsep diri.
18) Apabila inividu mengamati dan
menerima semua pengalamannya yang sensoris dan viseral kedalam suatu integral,
maka ia akan dapat lebih memahami dan menerima orang lain. Dengan
arti kata lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa apabila pengalaman
sosial diterima dan membentuk konsep diri, kemudian inividu dapat memahami
inividu lainnya, maka ia pun akan lebih diterima oleh lingkungannya.
19) Apabila inividu mengamati
dan menerima lebih banyak pengalaman organismenya, maka ia akan menyadari
bahwa ia sedang menggantikan sistem nilai-nilainya yang sekarang dengan baru,
dengan suatu proses evaluasi organis.
Teori Rogers ini telah menjadi dasar pengembangan
konseling non-direktif dan usaha-usaha lain yang bertujuan membantu inividu
untuk mengembangkan apa yang telah ada pada dirinya. Dengan memahami
teori ini, maka akan dipahami pula hubungan dunia kehidupan – pengalaman - konsep diri – penerimaan lingkungan –
kondisi sehat mental.
4.
Karakteristik Konseling Non-direktif
Peran klien yang besar dibandingkan dengan konselornya
dalam hubungan konseling adalah merupakan karakterisisik utama dari konseling
non-direktif.
Karakteristik untuk dari konseling non-direktif,
masing-masing menekankan pada:
a.
Tanggung
jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi kenyataan.
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki
pemahaman tentang dirinya sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk
memperoleh pemahaman akan dirinya, terbuka hal-hal yang baru itu haruslan
diberikan suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung jawab untuk menghadapi
kenyataan. Kenyataan itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang diamati dan
dialami inividu (Carl R. Rogers). Jadi, klien didorong untuk menentukan pilihan
dan keputusan serta tanggung jawab atas pilihan dan keputusan yang telah di
ambilnya
b.
Pengalaman-pengalaman
sekarang.
Konseling non-direktif tidak beorientasi pada
pengalaman masa lalu, tetapi menitikberatkan pada
pengalaman-pengalaman sekarang. Untuk mengungkapkan pengalaman dan
permasalahannya yang dihadapi sekarang ini (saat ini), konselor mendorong klien
untuk mengungkapkannya dengan sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak
berpura-pura), dan permisif.
c.
Konseling
non-direktif tidak bersifat dogmatis.
Konseling non-direktif bukanlah suatu bentuk hubungan
atau pendekatan yang bersifat kaku atau merupakan suatu dogma. Tetapi merupakan
suatu pola kehidupan yang berisikan penukaran pengalaman, dimana konselor dan
klien memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan dan berpartisipasi dalam menemukan
berbagai pengalaman baru.
d.
Konseling non-direktif menekankan kepada persepsi
klien.
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien.
Konselor berusaha memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami (dunia
fenomenal) dari klien dari sudut pandang persepsi klien sendiri, apakah itu
berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri maupun tentang dunia luar.
e.
Tujuan
konseling non-direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan oleh konselor.
Konseling non-direktif ini menempatkan klien pada
kedudukan sentral, sedangkan konselor berusaha membantu klien mengungkap dan
menemukan pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Jadi, tujuan konseling dengan
sendirinya ada dan di tentukan oleh klien itu sendiri.
5.
Fungsi Konselor dalam Konseling
Non-Direktif.
Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang
perlu dipenuhi oleh seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :
a. Menciptakan hubungan yang bersifat
permisif.
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh
pengertian, penuh penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk
ketegangan, tanpa memberikan penilaian baik positif maupun negatif. Dengan
terciptanya hubungan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan
ketegangan-ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri klien.
Menciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara
nonverbal.
b.
Mendorong
pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan
saja membantu klien untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya,
tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan perubahan-perubahan
yang fundamental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di
sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pribadi klien.
c.
Mendorong kemampuan
memecahkan masalah.
Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam
membantu klien agar ia mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi,
dengan demikian salah satu potensi yang perli dikembangkan atau
diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri.
6.
Persyaratan Sifat dan Sikap Seorang
Konselor Non-Direktif.
Beberapa persyaratan yang berhubungan dengan sifat dan
sikap agar dapat melaksanakan hubungan konseling non-direktif, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Kemampuan berempati.
Empati pada dasarnya adalah mengerti dan dapat
merasakan orang lain (klien). Empati ini akan lebih lengkap dan sempurna
apabila diiringi oleh pengertian dan penerimaan konselor tentang apa yang
dipikirkan oleh klien. Empati adalah saling hubungan akan dua orang, dan kuat
lemahnya empati itu sangat bergantung pada saling pengertian dan penerimaan
terhadap suasana yang diutarakan oleh klien. Empati yang dalam, dapat dirasakan
oleh kedua belah pihak, yaitu baik oleh konselor maupun oleh klien itu sendiri
b. Kemampuan menerima klien.
Kemampuan konselor untuk benar-benar menerima klien
sebagaimana adanya adalah memegang peran penting dalam hubungan konseling.
Dasar dari kemampuan ini adalah penghargaan terhadap orang lain (dalam diri kllien)
sebagai seorang yang pada dasarnya baik. Dalam menerima klien ini ada dua unsur
yang perlu diingat ialah :
-
Konselor
berkehendak untuk membiarkan adanya perbedaan antara konselor dengan klien
-
Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dilalui
oleh klien ada usaha yang penuh dengan perjuangan, pembinaan, dan perasaan.
Penerimaan konselor terhadap klien secara langsung
bersangkut paut dengan kemampuan konselor untuk tidak memberikan penilaian
tertentu terhadap klien.
c. Kemampuan untuk menghargai klien.
Seorang konselor non-direktif harus menghargai pribadi
klien tanpa syarat apapun. Apabila rasa dihargai dirasakan oleh klien, maka
timbullah rasa percaya bahwa dirinya mempunyai harga sebagai individu (tidak
dipandang rendah/tidak berarti), maka klien akan berani mengemukakan segala
masalahnya, maka timbul pula keinginan bahwa dirinya berharga untuk mengambil
keputusan bagi dirinya sendiri. Konselor harus dapat menerima klien sebagaimana
adanya. Dengan sikap dan kemampuan yang dimiliki konselor untuk menghargai
klien tanpa syarat, serta menerima klien apa adanya secara langsung akan
membina hubungan yang akrab penuh rasa persahabatan, hangat, terbuka dengan
kliennya.
d. Kemampuan untuk memperhatikan.
Kemampuan memperhatikan menuntut keterlibatan
sepenuhnya dari konselor terhadap segala sesuatu yang dikemukakan oleh klien.
Kemampuan ini memerlukan keterampilan dalam mendengarkan dan mengamati untuk
dapat mengetahui dan mengerti inti dari isi dan suasana perasaan bagaimana yang
diungkapkan klien. Melalui mendengarkan dan mengamati itu konselor tidak hanya
menangkap dan mengerti apa yang dikemukakan oleh klien, tetapi juga bagaimana
klien menyampaikan hal itu. Bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, klien
menginginkan perhatian penuh terhadap apa yang diungkapkan oleh klien, baik
melalui kata-kata (verbal) maupun isyarat (non-verbal).
e. Kemampuan membina keakraban.
Keakraban merupakan syarat yang sangat penting demi
terbinanya hubungan yang nyaman dan serasi antara konselor dan klien. Keakraban
ini akan tumbuh terus-menerus dan terbina dengan baik apabila konselor
benar-benar menaruh perhatian dan menerima klien dengan permisif. Perhatian dan
penerimaan yang murni (tidak semu dan palsu) ini sebenarnya tidak dipaksakan,
direncanakan ataupun dibuat-buat. Seorang konselor yang memaksakan dirinya
menaruh perhatian dan menerima klien, maka wujud perhatian itu tidak akan
wajar, ketidakwajaran itu sendiri akan mewarnai hubungan tersebut. Keakraban
yang murni dan wajar diwarnai oleh adanya perhatian, tanggapan, dan keterlibatan
perasaan secara tulus dan tanpa pamrih. Keakraban itu adalah lebih dalam dari
hanya sekadar ucapan salam atau mengenakkan hati klien. Lebih jauh dari itu
keakraban itu merupakan kesatuan suasana hubungan yang ditandai oleh rasa
saling percaya mempercayai, kerjasama, kesungguhan, ketulusan hati, dan
perhatian.
f. Sifat keaslian (gunuin)
Seorang konselor non-direktif harus memperlihatkan
sifat keaslian dan tidak berpura-pura. Kepura-puraan dalam hubungan konseling
menyebabkan klien menutup diri. Jadi, proses konseling non-direktif
mengharapkan keterbukaan dari klien. Klien akan terbuka apabila konselor dapat
dipercaya dan bersungguh-sungguh.
g. Sikap terbuka
Konselin non-direktif mengharapkan adanya keterbukaan
dari klien baik untuk mengemukakan segala masalahnya maupun untuk menerima
pengalaman-pengalaman. Keterbukaan dari klien akan terwujud apabila ada
keterbukaan dari konselor pula.
B. Proses
Konseling Non-Direktif
1.
Tujuan
Secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui
pendekatan Konseling Non-Direktif adalah untuk membantu klien agar berkembang
secara optimal sehingga ia mampu menjadi manusia yang berguna. Dimana tujuan
dasar Konseling Non-Direktif secara rinci adalah sebagai berikut:
1. Membebaskan klien dari berbagai
konflik psikologis yang dihadapinya.
2. Menumbuhkan kepercayaan diri klien
untuk mengambil satu atau serangkaian keputusan yang terbaik bagi dirinya
sendiri tanpa merugikan orang lain.
3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain dan memiliki kesiapan secara
terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri.
4. Memberikan kesadaran diri pada klien
bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup social budaya yang
luas, dimana ia masih memiliki keunikan tersendiri.
5. Menumbuhkan suatu keyakinan pada klien bahwa dirinya terus
bertumbuh dan berkembang (process of becoming).
2.
Ciri-ciri Proses
Adapun ciri-ciri dalam pendekatan Konseling
Non-Direktif, yaitu:
1. Klien berperan lebih dominan
daripada konselor. Dimana konselor hanya sebagai fasilitator atau
cermin.
2. Keputusan akhir tetap berada
ditangan klien, sedangkan konselor berperan dalam mengarahkan klien untuk mampu
mengambil keputusan sendiri atas masalah yang dihadapinya.
3. Dalam proses Konseling Non-Direktif
menekankan pada pentingnya hubungan yang bersifat permisif, intim sebagai
persyaratan mutlak bagi berhasilnya hubungan konseling. Komunikasi antara
konselor dan klien akan lebih mudah apabila berbentuk keakraban (raport),
karena keakraban adalah dasar membentuk kepercayaan antara klien dan konselor.
Dimana konselor harus memberikan keleluasaan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya dan pada saat yang bersamaan konselor memisahkan semua informasi
yang relevan dengan tujuan dari konseling,
4. Konselor harus benar-benar menerima
klien apa adanya dan sebelum memberikan bantuan konselor harus menghadapi klien
dengan tulus sebagai individu yang berpotensi untuk mengambil keputusan sendiri
atas permasalahannya.
5. Proses konseling tidak bisa
ditentukan oleh konselor. Sehingga lebih cepat klien mengungkapkan masalahnya,
maka secepat itu pula konselor dapat mengarahkan klien dalam menyelesaikan
masalahnya.
6. Empati menduduki tempat terpenting.
Karena dengan empati konselor dapat mengerti dan merasakan perasaan klien
seutuhnya.
3.
Langkah-langkah
Adapun menurut Carl R. Rogers, ada dua belas langkah
yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan konseling
Non-Direktif. Namun kedua belas langkah yang dikemukan itu bukanlah langkah
yang baku, dapat diubah-ubah. Langkah-langkah dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Klien datang untuk meminta bantuan
kepada konselor secara sukarela.
Bila klien datang atas petunjuk seseorang, maka
konselor harus mampu menciptakan suasana permisif, santai, penuh keakraban dan
kehangatan, serta terbuka, sehingga klien dapat menetukan sikap dalam pemecahan
masalahnya.
2. Merumuskan situasi bantuan.
Dalam merumuskan konseling sebagai bantuan untuk klien
, klien didorong untuk menerima tanggung jawab untuk melaksanakan pemecahan
masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini hanya bisa dilakukan apabila konselor
yakin pada kemampuan klien untuk mampu membantu dirinya sendiri.
3. Konselor mendorong klien untuk
mengungkapkan perasaannya secara bebas, berkaitan dengan masalahnya.
Dengan menunjukkan sikap permisif, santai, penuh
keakraban, kehangatan, terbuka, serta terhindar dari ketegangan-ketegangan,
memungkinkan klien untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga dirasakan
meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
4. Konselor
secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan klien yang sifatnya negative
dengan memberikan respons yang tulus dan menjernihkan kembali perasaan negative
dari klien.
5. Setelah perasaan negative dari klien
terungkapkan, maka secara psikologis bebannya mulai berkurang. Sehingga
ekspresi-ekspresi positif akan muncul, dan memungkinkan klien untuk bertumbuh
dan berkembang.
6. Konselor menerima perasaan positif
yang diungkapkan klien.
7. Saat klien mencurahkan perasaannya
secara berangsur muncul perkembangan terhadap wawasan (insight) klien
mengenal dirinya, dan pemahaman (understanding) serta penerimaan
diri tersebut.
8. Apabila klien telah memiliki
pemahaman terhadap masalahnya dan menerimanya, maka klien mulai membuat
keputusan untuk melangkah memikirkan tindakan selanjutnya. Artinya bersamaan
dengan timbulnya pemahaman, muncul proses verfikasi untuk mengambil keputusan
dan tindakan memungkinkan yang akan diambil.
4.
Dasar Pertimbangan Penggunaan
Pertimbangan yang menjadi pendorong digunakannya
konseling Non-Direktif didasarkan pada :
1. Sifat Klien
Dalam proses konseling diharapkan konselor mampu
memahami sifat-sifat kliennya secara baik. Karena pada hakikatnya klien sebagai
individu memiliki keunikan tersendiri. Dimana Konseling Non-Direktif
sebagai suatu pendekatan memberikan keleluasaan pada klien yang memiliki sifat-sifat: agresif,
terbuka, terus terang, serta mampu mengungkapkan masalahnya secara terus
terang, bebas, dan lancar.
2. Sifat Konselor
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor
dalam Konseling Non-Direktif, yaitu:
a. Kemampuan dan kesediaan untuk menjadi
pendengar yang baik. Disamping itu juga bersedian untuk menyimak, mengkaji, dan
menangkap apa yang diungkapkan oleh klien.
b.
Kemampuan
menciptakan hubungan keakraban(raport). Karena hal ini
merupakan dasar dalam membentuk kepercayaan dan pengertian antara konselor dan
klien.
3. Kesediaan konselor untuk meluangkan
waktu yang cukup banyak, karena Konseling Non-Direktif berpotensi untuk memakan
waktu yang lama.
4. Sifat Masalah
Dalam Konseling Non-Direktif pada dasarnya
dapat digunakan pada setiap masalah yang dihadapi klien. Tetapi konseling ini
lebih tepat digunakan untuk masalah-masalah yang bersifat konflik
psikologis. Konflik psikologis yang
dimaksudkan adalah yang terkait dengan ketegangan-ketegangan psikologis,
sebagai akibat tertekannya individu oleh lingkungan maupun dirinya sendiri.
5. Kelemahan
dan Kelebihan
a. Kelemahan
Penggunaan pendekatan konseling Non-Direktif memiliki
beberapa keterbatasan:
1)
Cara Pendekatan yang berpusat pada
klien sedangkan waktu yang tersedia terbatas. Sehingga bila konselor tidak mampu
mengatur arah pembicaraan, maka akan menyita banyak waktu dalam wawancara.
2)
Keterbatasan kemampuan dan
keberanian klien dalam menyampaikan permasalahannya secara verbal.
3)
Kesukaran
klien dalam memahami kesukarannya sendiri
4)
Pendekatannya
menuntut kedewasaan klien dalam bersikap untuk memahami dirinya dan memecahkan
masalahnya sendiri.
5)
Keterbatasan
konselor dalam menghadapi masalah klinis akibat konselor belum terlatih dalam
masalah psikologis.
b. Kelebihan
Pendekatan konseling Non-Direktif biasanya banyak membantu
dalam proses konseling, terutama bila :
1.
Klien dalam
kondisi emosional yang labil sehingga sulit berpikir logis
2.
Konselor
memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam menangkap emosi yang ditonjolkan
klien dan merefleksikan kembali ke klien dalam bahasa dan tindakan yang sesuai.
3.
Klien mampu
merefleksikan dirinya baik itu perasaan maupun pikirannya melalui
penyampaian secara verbal.
4.
Pendekatan
ini sangat cocok dipergunakan sebab masalah klien tetap menjadi tanggung jawab
klien, sekalipun konselor memberikan beberapa bantuan berupa pertanyaan
penggali (probbing), namun penekanan tetap berpusat pada kemampuan
refleksi diri klien terhadap masalahnya.
BAB III
KESIMPULAN
Konseling Non-Direktif adalah salah satu metode perawatan
psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar
tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien yang ideal) dengan
actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya), Metode ini
dikembangkan oleh Carl Rogers.
Proses konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di
pundak klien itu sendiri. Dalam pemecahan masalah, maka klien itu sendiri
didorong oleh konselor untuk mencari serta menemukan cara yang terbaik dalam
pemecahan masalahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Djuhur I. & Surya Moh., 1975. Bimbingan dan Penyuluhan diSekolah. CV;ILMU: Bandung
Prayitno& Amti Erman. 1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.PT. Rineka Cipta Jakarta
A, Hellen. 2002. Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Ciputat Press. Jakarta
Winkel, W.S.. 1001. Bimbingan dan Konselinh di Institusi pendidikan. PT. Grasindo: Jakarta
Walgito, Bimo.1995 Bimbingan dan Penyuluhan DiSekolah. Andi Offset: Yogyakarta
www.bimbingan dan penyuluhann,DYP Sugiharto.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar