Pembeli bibit lobster Cherax quadricarinatus terus berdatangan ke farmnya seluas 200 m2 di Kopen, Yogyakarta. Mereka datang dari berbagai kota seperti Surabaya, Malang, Semarang, Purwokerto, Jambi, dan Gorontalo. Total jenderal pria 39 tahun itu memasarkan 6.000 lobster ukuran 5 cm per bulan, 2.000 ekor di antaranya hasil budidaya sendiri.
Untuk menghasilkan bibit lobster itu ia memerlukan waktu 2 bulan. Biaya yang digelontorkan cuma Rp750 per ekor sehingga total ongkos produksi Rp1.500.000. Sedangkan 4.000 ekor lain diperoleh dari rekannya anggota Asosiasi Pembudidaya Lobster Air Tawar Indonesia (APLATI). Ia hanya mengutip untung Rp500 per ekor. Laba bersih yang ditangguk alumnus Teknik Sipil Universitas Atmajaya Yogyakarta itu dari penjualan lobster 5 cm Rp5,5-juta per bulan. Itu di luar penjualan induk siap pijah berumur 7 bulan.
Harga satu set indukan-terdiri atas 3 jantan dan 5 betina-yang telah berjodoh Rp450.000. Padahal, dalam sebulan Johan menjual 30-35 set senilai Rp13,5-juta-Rp15,7-juta. Untuk membesarkan induk besar itu ia menghabiskan Rp2.000 per ekor alias Rp480.000-Rp560.000. Untung bersih dari penjualan induk siap pijah mencapai Rp13-juta setiap bulan.
Ceruk besar
Permintaan bibit memang deras mengalir. Namun, hingga saat ini tak semuanya terlayani. Masih ada permintaan 2.000 ekor per bulan yang gagal dipasok. Maklum, di Kopen, Yogyakarta, kelahiran Palembang 10 Agustus 1966 itu hanya mengelola 22 bak pembenihan terbuat dari semen. Di sana terdapat 20 bak berukuran 2 m x 2 m masing-masing terdiri atas 1 set induk dan 2 bak 5 m x 1 m yang diisi 15 set induk. Di Giwangan, Bantul, ayah 3 anak itu juga mengelola sebuah kolam semen 40 m2 terdiri atas 240 indukan.
Dari total 500 indukan itulah Johan Efendi memetik 2.000 lobster 5 cm dan 35 set indukan per bulan. Pasar lobster konsumsi juga minta pasokan. Syaratnya lobster hidup terdiri atas 3 ekor per kg. Harganya disepakati Rp250.000. Alih-alih Memenuhi permintaan mereka, untuk bibit pun belum terlayani sepenuhnya.
Johan Efendi tak serta-merta menggapai pasar empuk itu. Modal Rp1-juta amblas ketika 400 lobster yang ditebar meregang nyawa. Musababnya, suhu air di Wonosobo berketinggian 1.000-an m dpl amat dingin. Anggota famili Cambaridae itu hanya bertahan 14 hari. Pilihan lokasi di kaki Gunung Sumbing itu terbukti keliru, habitat yabby di daerah beriklim hangat.
Itu bukan kegagalan terakhir. Pada September 2004 lagi-lagi ia merasakan pedihnya dicapit lobster. Sekitar 40 set induk mati karena air tercemar pakan berupa cacing sutra yang mati sehingga terjadi polusi amonia. Sekitar Rp18-juta modalnya pun membusuk. Tiga bulan berselang giliran 1.540 ekor ukuran 5 cm terkapar lantaran diracun orang tak dikenal. Ia rugi Rp5-jutaan.
Di tengah keterpurukan tersisa semangat untuk melanjutkan pembesaran kerabat udang itu. Untuk mengantisipasi kegagalan itu ia lebih intens mencari informasi soal red claw di dunia maya hingga tengah malam. Selain itu ia juga mencari saran dari peternak lain di berbagai kota.
Strategi itu ternyata tidak mengelakkan Johan dari bencana. Pertengahan 2005 setidaknya 1.200 ekor berumur 2 bulan akhirnya mati. Saat itu Johan menebar lobster ukuran 5 cm di sebuah kolam koi berdinding semen dan dasar berlumpur. Satwa air itu banyak yang hilang dan lambat perkembangannya. Kemungkinan kompetisi makanannya kalah dibanding koi yang perkembangannya cepat, tuturnya. Kerugian yang dideritanya Rp3,6-juta.
Ragam komoditas
Kegagalan beragribisnis sejatinya bukan hal baru bagi Johan Efendi. Sebelum menggeluti lobster pada April 2003, ia sempat membudidayakan puyuh di Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia memasarkan 5.000 piyik per bulan ke Boyolali, Klaten, dan Salatiga.
Badai krisis moneter pada 1998 menghantam usahanya. Saat itu harga pakan melonjak 3 kali lipat menjadi Rp200.000 dari sebelumnya Rp70.000 per sak. Usaha puyuh itu lesu darah dan akhirnya gulung kandang.
Johan kembali mencoba peruntungan bisnis. Pilihan jatuh pada parkit Melopsittacus undulatus sekadar meneruskan usaha kerabatnya yang pulang ke Palembang. Namun, usaha itu hanya bertahan setahun karena harga pakan yang mahal, mencapai Rp6.000 dari sebelumnya Rp2.500 per kg. Komoditas bawang daun menjadi pilihan berikutnya pada 2000. Anak ke-9 dari 10 bersaudara itu memasok 12 ton kg bawang daun segar per pekan ke raksasa produsen mi. Pehobi tenis itu mengumpulkan Allium fistulosum dari beberapa pekebun. Pada 2002 setelah setahun digeluti, bisnis bawang daun pun berhenti.
Baru pada 2003 ia melirik lobster. Ini pasti bakal lebih prospektif dibandingkan puyuh, parkit, atau bawang daun. Sebagai ikan konsumsi prospeknya bagus dan memiliki nilai ekonomis tinggi, katanya. Johan membuat 5 akuarium masing-masing 1 m x 0,5 m x 0,4 m di ruang tamunya. Setiap akuarium diisi 5 set indukan dengan total nilai Rp5- juta. Hasilnya, sekitar 2.500 burayak. Satu ekor induk menghasilkan 150-200 ekor pada proses peneluran pertama, ujarnya.
Saat itu lobster air tawar terbilang komoditas baru yang menawan calon pengusaha agribisnis. Dengan cepat lobster produksi Johan terserap pasar dengan harga tinggi: Rp30.000 per ekor ukuran 5 cm. Hasil penjualan perdana itu digunakan untuk ekspansi usaha di Kopen. Dari sanalah kini gelimang rupiah didapat di antara kesibukannya mendirikan ratusan hunian. Di sana pula ia menghabiskan waktu usai pulang kerja dan menanggalkan jabatan direktur. Meski untuk, sesaat sebelum akhirnya ia kembali bermetamorfosis. (Sardi Duryatmo/Peliput: Hanni Sofia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar