Jumat, 11 Mei 2012

PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS

Disusun oleh :
Adi Handoko (11080029)
Fakultas Psikologi
Universitas Borobudur 2012





PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS


TUJUAN PENELITIAN
- Penelitian dapat menghindarkan dari keadaan spekulatif yang murni
- Memperluas dan memodifikasi teori yang telah ada, sebagaimana peneltiian dapat mengembangkan manfaat dan kegunaan teori

METODE PENELITIAN
Pada dasarnya hampir sama dengan metode penelitian umum, namun tujuan dan penekanannya adalah untuk keperluan populasi khusus misalnya mengetahui efektivitas suatu perlakuan pada kelompok tertentu.

1. Observasi
Tujuan observasi :
- untuk keperluan asesment awal
- untuk menentukan kelebihan dan kelemahan observee
- untuk merancang rencana individual bagi klien
- sebagai dasar / titik awal dari kemajuan klien
- bagi anak2 berguna mengetahui perkembangannya pada tahap tertentu

2. DIMENSI OBERVASI
- Partisipan dan non partisipan
- Overt dan Covert
- Alamiah dan Buatan
Dengan berbagai kombinasi yaitu partisipan-overt-alamiah (poa), non partisipan-overt-alamiah (noa), partisipan-covert-buatan (pcb)

3. ALAT OBSERVASI
- Anecdotal ” Observer mencatat hal-hal yang penting”
- Catatan berkala ”Mengadakan observasi cara-cara orang bertindak dalam jangka waktu tertentu, kemudian menuliskannya kesan-kesan umumnya.
- Check List ” suatu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor-faktor yang hendak diselidiki, agar jadi sistematis

4. RATING SCALE
”Pencatatan gejala menurut tingkat-tingkatnya”

Observer memiliki kesesatan, yaitu :
- Hallo Effect
Jika observer dalam pencatatannya terpikat oleh kesan umum yang baik pada observee
- Generosity Effect
Keadaan yang kurang baik, cecenderungan untuk menilai yang menguntungkan / merugikan observee
- Carry over Effect
Pencatat tidak dapat memisahkan satu gejala dari yang lain dan jika gejala yang satu kelihatan timbul dalam keadaan yang baik, gejala yang lainnya juga dicatat juga dalam keadaan yang baik.


5. MECHANICAL DEVICES
Perkembangan alat-alat optika yang maju memungkinkan seorang observer menggunakan alat pencatat mesin seperti kamera video untuk menyelediki tingkah laku orang.
OBSERVER menurut Spradley (1980)
1. Observer tidak berperan sama sekali
2. Observer berperan pasif
3. Observer berperan aktif
4. Observer berperan penuh

Hal-hal yang diobservasi
1. Penampilan fisik
2. gerakan tubuh/penggunaan anggota tubuh
3. ekspresi wajah
4. pembicaraan
5. reaksi emosi
6. aktivitas yang dilakukan

Langkah-langkah dalam Observasi (Rummel)
1. Peroleh dahulu pengetahuan apa yang akan diobservasi
2. selidiki tujuan-tujuan yang umum maupun khusus dari problem research untuk menentukan apa yang harus diobservasi
3. Buatlah suatu cara untuk mencatat hasil-hasil observasi
4. Adakan dan batasi dengan tegas macam-macam tingkah kategori yang diragukan
5. adakan observasi secermat-cermatnya
6. catatlah tiap-tiap gejala secara terpisah
7. ketahui alat pencatatan dengan baik dan tata caranya

METODE PENELITIAN EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi adalah kajian mengenai insidensi, prevalensi, dan distribusi penyakit dalam sebuah populasi.
Insidensi berkaitan dengan tingkat kasus baru dari suatu penyakit yang berkembang dalam suatu periode waktu
Prevalensi mengacu pada rata-rata kasus baru atau lama dalam suatu periode waktu

METODE KORELASIONAL
Metode korelasi ini ditujukan untuk mengukur korelasi (faktor-faktor resiko) dari suatu penyakit atau suatu gangguan (Phares dan Trull, 2001) teknik korelasi membantu peneliti untuk melihat apakah variabel X berhubungan dengan variabel Y. Misalnya apakah suatu pola tertentu dari skor tes intelegensi berhubungan dengan gangguan psikatrik tertentu?

PENELITIAN LONGITUDINAL VS CROSS-SECTIONAL
Cross sectional adalah suatu cara untuk mengevaluasi atau membandingkan individu-individu, mungkin dari kelompok usia yang berbeda namun dalam waktu yang sama. Misal membandingkan anak usia 5 tahun dengan anak usia 10 tahun di tahun 2006.
Disain Longitudinal meneliti sejumlah orang yang sama dalam kurun waktu tertentu. Misal meneliti sekelompok anak yang dibesarkan di panti asuhan antara tahun 1990-2005

METODE PENELITIAN EKSPERIMENTAL
Metode eksperimental perlu dilakukan untuk melihat adanya suatu hubungan sebab akibat antara dua peristiwa. Misal seorang peneliti ingin melihat apakah ada pengaruh pemberian pelatihan pengembangan diri untuk meningkatkan kemampuan berpikir positif.

Bentuk disain eksperimental :
- Disain antar kelompok (between group designs), ketika peneliti memisahkan dua kelompok partisipan yang masing-masing menerima stimulus yang berbeda kemudian membandingkan hasil keduanya.
- Disain dalam kelompok (within group designs), bila satu individu dalam kelompok terapi relaksasi dibandingkan kemajuannya dalam beberapa periode misalnya setelah satu minggu, dua minggu


METODE DISAIN SATU KASUS
Disain satu kasus merupakan pengembangan dari pendekatan operan dan pendekatan behavioral. Desain satu kasus adalah perwujudan dari pendekatan perilaku yang mengutamakan pengukuran perilaku nyata seperti yang disampaikan dalam belajar operan (Phares dan Trull,2001). Misal seorang eksperimenter mengukur perilaku subjek dalam beberapa kondisi dan dalam kondisi tersebut diterapkan berbagai teknik eksperimental namun fokus dari eksperimental adalah respon-respon dari satu subjek saja..

DISAIN GANDA atau multiple baseline design
Dua perilaku atau lebih dipilih untuk dianalisis. Misal di rumah atau di ruang terapi.

PENELITIAN PSIKOTERAPI, SEBUAH KEKHUSUSAN
Pengetahuan mengenai psikoterapi dapat diperoleh melalui sejumlah cara, yaitu
- Studi Kasus, kajian mendalam terhadap kasus individual, keterbatasannya studi kasus tidak terkontrol, sering tidak sistematis, generalisasi, dan tidak pasti
- Survei klinis, dengan cara mendata status pasien yang telah membaik atau tidak membaik
- Penelitian korelasional, kekurangan adanya jarak yang juga bervariasi, keuntungan tidak memerlukan kontrol dan manipulasi
- Eksperimental, metode paling murni dalam memperoleh pengetahuan dan menguji teori.


Sumber: Psikologi Klinis
Tristiadi Ardi Ardani,Iin Tri Rahayu, Yulia Sholichatun

KONSELING KELUARGA

A.Pengertian Konseling Keluarga

Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang pembimbing (konselor) kepada seseorang konseli atau sekelompok konseli (klien, terbimbing, seseorang yang memiliki problem) untuk mengatasi problemnya dengan jalan wawancara dengan maksud agar klien atau sekelompok klien tersebut mengerti lebih jelas tentang problemnya sendiri dan memecahkan problemnya sendiri sesuai dengan kemampuannya dengan mempelajari saran-saran yang diterima dari Konselor. Sedangkan arti dari keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga. Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga ini secara memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga.
Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konselor terutama konselor non keluarga, yaitu konseling keluarga sebagai (1) sebuah modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan ( Capuzzi, 1991 ) Konseling keluarga memandang keluarga secara keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun penyelesaiannya. Sebagai suatu system, permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Pada mulanya konseling keluarga terutama diarahkan untuk membantu anak agar dapat beradaptasi lebih baik untuk mempelajari lingkungannya melalui perbaikan lingkungan keluarganya (Brammer dan Shostrom,1982). Yang menjadi klien adalah orang yang memiliki masalah pertumbuhan di dalam keluarga. Sedangkan masalah yang dihadapi adalah menetapkan apa kebutuhan dia dan apa yang akan dikerjakan agar tetap survive di dalam sistem keluarganya.
Pada masa lalu, menurut Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada salah satu atau dua hal, yaitu (1) keluarga terfokus pada anak yang mengalami bantuan yang berat seperti gangguan perkembangan dan skizofrenia, yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan; dan
(2) keluarga yang salah satu atau kedua orang tua tidak memiliki kemampuan, menelantarkan anggota keluarganya, salah dalam member kelola anggota keluarga, dan biasanya memiliki sebagian masalah. Anak di dalam suatu keluarga sering kali mengalami masalah dan berada dalam kondisi yang tidak berdaya di bawah tekanan dan kekuasaan orang tua. Permasalahan anak adakalanya diketahui oleh orang tua dan sering kali tidak diketahui orang tua. Permasalahan yang diketahui orang tua jika fungsi-fungsi psikososial dan pendidikannya terganggu orang tua akan mengantarkan anaknya ke konselor jika mereka memahami bahwa anaknya sedang mengalami gangguan yang berat. Karena itu konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap keluarga dengan anak yang mengalami gangguan. Hal kedua berhubungan dengan keadaan orang tua. Banyak dijumpai orang tua tidak berkemampuan dalam mengelola rumah tangganya, menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi kondisi yang berkesinambungan dan penuh konflik, atau memberi perlakuan secara salah (ubuse) pada anggota keluarga lain, dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki berbagai masalah. Jika mengerti dan berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga yanag lebih stabil, mereka membutuhkan konseling. Perkembangan belakangan konseling keluarga tidak hanya menangani dua hal tersebut. Permasalahan lain yang juga ditangani karena anggota keluarga mengalami kondisi yang kurang harmonis di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru dalam mengatur keluargannya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Berdasarkan pengalaman dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang dihadapi dan dikonsultasikan kepada konselor antara lain: keluarga dengan anak yang tidak patuh terhadap harapan orangtua, konflik antar anggota keluarga, perpisahan diantara anggota keluarga karena kerja di luar daerah dan anak yang mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi. Berbagai permasalahan-permasalahan keluarga tersebut dapat diselesaikan melalui konseling keluarga. Konseling keluarga menjadi efektif untuk mengatasi masalah-masalah tersebut jika semua anggota keluarga bersedia untuk mengubah system keluarganya yang telah ada dengan cara-cara baru untuk membantu mengatasi anggota keluarga yang bermasalah. Sebagaimana di kemukakan di bagian awal, konseling keluarga dalam beberapa hal memiliki keuntungan. Namun demikian konseling keluarga juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, dan perlu dipertimbangkan oleh konselor jika bermaksud melakukannya. Hambatan yang dimaksud di antarannya: 1.Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses konseling karena mereka menganggap tidak berkepentingan dengan usaha ini, atau karena alasan kesibukan, dan sebagainya; dan
2.Ada anggota keluarga yang merasa kasulitan untuk menyampaikan perasaan dan sikapnya secara terbuka dihadapan anggota keluarga lain, padahal konseling membutuhkan keterbukaan ini dan saling percayaan satu sama lain.

B.Pendekatan Konseling Keluarga Untuk memahami mengapa suatu keluarga bermasalah dan bagaimana cara mengatasi masalah-masalah keluarga tersebut, berikut akan dideskripsikan secara singkat beberapa pendekatan konseling keluarga.

Tiga pendekatan konseling keluarga yang akan diuraikan berikut ini, yaitu pendekatan system, conjoint, dan struktural.
1.Pendekatan Sistem Keluarga Murray Bowen merupakan peletek dasar konseling keluarga pendekatan sistem. Menurutnya anggota keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfunctining family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka. Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindari dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya.
2.Pendekatan Conjoint Sedangkan menurut Sarti (1967) masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan harga diri (self-esteem) dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadijika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.
3.Pendekatan Struktural Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering terjadi karena struktur kaluarga dan pola transaksi yang dibangunn tidak tepat. Seringkali dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-batas antara subsistem dari sistem keluarga itu tidak jelas. Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai. Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman konselor untuk melihat masalah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola komunikasi, atau batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya. Berangkat dari analisis terhadap masalah yang dialami oleh keluarga itu konselor dapat menetapkan strategi yang tepat untuk mambantu keluarga.

C.Tahapan Konselor Keluarga

Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan oleh Crane (1995:231-232) yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan behavioral, yang disebutkan terhadap empat tahap secara berturut-turut sebagai berikut.
1.Orangtua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dan sesi pengajaran.
2.Setelah orang tua membaca tentang prinsip dan atau telah dijelaskan materinya, konselor menunjukan kepada orang tua bagaimana cara mengajarkan kepada anak, sedangkan orang tua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan tentang bagaimana hal inidikerjakan. Secara tipikal, orang tua akan membutuhkan contoh yang menunjukan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang beroposisi. Sangat penting menunjukan kepada orang tua yang kesulitan dalam memahami dan menetapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
3.Selanjutnya orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat member koreksi ika dibutuhkan. 4.Setelah terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak secara tepat. Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba menerapkannya di rumah. Saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai. Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orang tua dapat ditanyakan pada saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat memberikan contoh lanjutan di rumah dan observasi orang tua, selanjutnya orang tua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.

D.Peran Konselor Peran konselor dalam membantu klien dalam konseling keluarga dan perkawinan dikemukakan oleh Satir (Cottone, 1992) di antaranya sebagai berikut.
1.Konselor berperan sebagai “facilitative a comfortable”, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
2.Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi.
3.Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.
4.Membelajarkan klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk bertanggung jawab dan malakukan self-control.
5.Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga.
6.Konselor menolak perbuatan penilaian dan pembantu menjadi congruence dalam respon-respon anggota keluarga.

Daftar Pustaka Latipun. 2001. Psikologi Konseling. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang Sayekti Pujosuwarno. 1994. Bimbingan Dan Konseling Keluarga. Menara Mas Offset. Yogyakarta