Jumat, 05 April 2013

ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF

A. Kognitivisme
Kognitivisme merupakan suatu bentuk materi yang sering disebut sebagai model kognitif atau perceptual. Di dalam model  ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Belajar  disini dipandang sebagai perubahan persepsi dan pemahaman,yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi dan faktor-faktor lain. Proses belajar yang meliputi pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman- pengalaman sebelumnya.
B. Teori belajar kognitif
a. Teori belajar dari Peaget
Pendapat Peaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut:
  1. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
  2. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan bagi semua anak.
  3. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
  4. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: kemasakan,  pengalaman, interaksi sosial dan equilibration (proses dari ketiga faktor diatas bersama-sama untuk membangun dan memperbaiki struktur mental).
Ada empat tahap perkembangan yaitu:
  • Tahap Sensori Motor (0-2 tahun) Anak yang berada pada tahap ini pengalaman diperoleh melalui perubahan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya,  ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannnya, atau perpindahan terlihat. Contoh : Anak mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.
  • Tahap Pra Operasi(2- 6 tahun) Pada tahap ini adalah tahap pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek, menata benda-benda menurut urutan tertentu dan membilang. Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pengalaman konkrit dari pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatan berbeda maka, ia mengatakan berbeda pula. Contoh : Jika ada 5 kelereng yang masa besar di atas meja lalu kelereng itu diubah letaknya menjadi agak berjauhan maka anak pada tahap ini akan mengatakan letak kelereng yang berjauhan jumlahnya lebih banyak.
  • Tahap Operasi Konkrit (6- 12 tahun) Anak – anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di sekolah dasar. Ditahap ini anak telah memahami operasi logis dengan bantuan benda- benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secar objektif dan berfikir reversibel. Contoh : seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya berwarna merah. Apabila ditanyakan masalah yang lebih banyak bola kayu atau bola berwarna merah?  Anak pada tahap pra operasional menjawab bawa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada operasi konkrit menjawab bola kayu lebih banyak dari pada bola merah.
  • Tahap Operasi Formal (12 tahun ke atas) Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu mengadakan penalaran dengan menggunakan hal-hal abstrak. Penalaran yang terjadi dalma struktur kognitifnya telah mampu menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Contoh  : Anak dihadapkan pada dua gambar yaitu gambar “pak pendek” dan “pak tinggi” lalu ank disuruh mengukur tinggi kedua gambar tersebut dengan menggunakan batang korek api dan dengan klip. Di sini anak diminta untuk membandingkan hasil dari pengukuran tersebut.
b. Teori Kognitif dari Brunner
Jeromi Brunner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping  hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Brunner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda- benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keteraturan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Menurut Brunner, belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan yakni:
  1. Memperoleh informasi baru, dapat merupakan penghaluasan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang.
  2. Transformasi informasi , menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah kebentuk lain.
  3. Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan, dilakukan dengan menilai apakah cara kita memperlakukan pengetahuan tersebut cocok atau sesuai dengan produk yang ada.
Proses belajar melalui tiga tahap yaitu;
  • Tahap enaktif, Pada tahap ini anak-anak dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung.
  • Tahap ikonik, Pada tahap ini anak tidak memanipulasi objek-objek secara langsung, tetapi sudah dapat memanipulasi dengan memggunakan gambaran dari objek.
  • Tahap simbolik, Pada tahap ini anak memiliki gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika,dimana pada tahap ini memanipulasi symbol-simbol secara langsung dan tidak lagi menggunakan objek-objek dan gambaran objek.
Dalil –dalil hasil pengamatan Brunner ke sekolah-sekolah:
  1. Dalil penyusunan (konstruksi) Dalil ini menyatakan bahwa jika anak mempunyai kemampuan untuk menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya, anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan idea tau definisi tertentu dalam pikiran, anak- anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukan sendiri. Sehingga jika anak aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut, maka anak akan jadi memahaminya. Anak yang mempunyai konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang, akan lebih memahami konsep tersebut. Jika anak tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagai contoh untuk memperlihatkan perkalian, kita ambil , ini berarti bahwa dalam garis bilangan meloncat 3 kali,dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut kita periksa, ternyata hasinya 15. Dengan mengulangi hasil percobaan seperti ini akan benar-benar memahami dengan pengertian yang dalam bahwa perkalian pada dasarnya merupakan penjumlahan berulang.
  2. Dalil notasi Dalil ini mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting, dimana notasi tersebut harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental anak. Contoh: notasi  Bagi anak yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut , diberikan notasi fungsi
  3. Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman Pada dalil ini diperlukan contoh-contoh yang banyak sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Anak perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan dan teorema yang diberikan. Selain itu mereka perlu juga diberi contoh-contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau teorema sehingga anak diharaapkan tidak mengalami salah pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari. Contohnya untuk menjelaskan segitiga siku-siku ,perlu diberi contoh yang gambar- gambarnya tidak selalu tegak dengan sisi miringnya dalam keadaan miring, tapi perlu juga diberikan gambar dengan keadaan sisi miring mendatar atau membujur. Dengan cara ini anak terlatih dalam memeriksa apakah segitiga yang diberikan kepadanya tergolong segitiga siku-siku atau tidak.
  4. Dalil pengaitan (konektipitas) Dalam dalil ini dinyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi , namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep dalil phytagoras diperlukan untuk menentukan tripel phytagoras. Guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang digunakan sama-sama dapat digunakn dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal lainnya.
c. Teori Gestalt
Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
  1. Pengajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
  2. Pelaksanaan pembelajaran harus memprhatikan kesiapan intelektual siswa
  3. Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar
Dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberikan konsp yang harus dierima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap konsep tersebut dari pada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan induktif.
Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan intelektual siswa. Siswa SMP masih berada pada tahap operasi konkret, artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan menggunakan benda konkret.. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajaran mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka ragam kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan pembelajaran menjadi bermakna.
Faktor eksternalpun bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus pandai- pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar dengan perasaan senang tidak merasa terpaksa.
d. Teori Brownell
W . Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajr pada hakikatnya merupakan proses yang bermakna. Bila kita perhatikan , teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan teori Gestalt, yang muncul dipertengahan tahun 1930. Menurut teori pembelajran Gestalt, latihan hafal atau yang lebih dikenal dengan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritnetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitik beratkan hafalan dna mengasah otak. Aplikasi dari bahna yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali di kupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin normal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang lebih mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad ke 19 terdapat hasil yang menunjukan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi dan lain-lain.
 e. Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seornag matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorentasikan kepada anak-anak, sehinnga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak-anak yang mempelajarinya.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang srtuktur, memisahkan hubungan-hubungan tentang struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik.Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan.dalam tahap ini anak membentuk struktur mental dan struktur sikap untuk mempersiapkan diri di dalam pemahaman konsep. Penggunaan alat peraga matematika anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak
Dalam permainan yang disertai aturan anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Melalui permainan anak –anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk yang diberikan akan makin jelas konsep yang dipahami anak karena anak memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat dari situasi yang dihadapinya. Representasi bersifat abstrak sehingga anak-anak telah mengarah pada struktur matematika yang sifatnya abstrak.
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan representasi dari setiap konsep dengan menggunakan konsep matematika atau perumusan verbal. Tahap belajar konsep yang terakhir yaitu formalisasi. Pada tahap ini anak dituntut untuk mengurutkan sifat- sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut.Sebagai contoh anak-anak telah mengenal dasar-dasar dalam sruktur matematika seperti aksioma,harus mampu merumuskan atau  membuktikan teorema.
f. Teorema Van Hiele
Dalam pengajran geometri terdapat teori belajr yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang mnguraikan tahap-tahap mental anak dalam pengajaran geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam geometri. Hasil penelitiannya itu dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan. Menurut Van hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu,materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan.
Tahap belajar anak dalam belajar geometri menurut Van hiele sebagai berikut:
  1. Tahap pengenalan (visualisasi) Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geomerti secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang merupakan bujur sangkar, sisinya ada 6 buah dan rusuknya ada 12 dan lain-lain.
  2. Tahap analisis Pada tahap inianak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat benda geometri itu. Misalnaya disaat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri satu dengan yang lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi.
  3. Tahap pengurutan (deduksi informal) Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan yang dikenal dengan berfikir deduktif. Namun, belum secara keseluruhan. Anakpun sudah mulai bisa mengurutkan, misalnya bahwa bujur sangkar adalah persegi. Demikian juga dengan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus juga adalah balok dengan sisi berbentuk bujur sangkar. Tetapi pola pikirnya belum mampu menerangakan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua buah benda yang kongruen.
  4. Tahap deduksi Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke khusus. Dia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan di samping yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai mampu mengenal dalil, aksioma atau postulat dalam pembuktian. Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat itu benar dan mrngapa dapat dijadikan postulat dalam pembuktian segiga kongruen.
  5. Tahap akurasi Dalam tahap ini sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma atau postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas , masih belum sampai pada tahap berfikir ini.